IKLAN

Free Website Hosting

Senin, 23 Februari 2009

PARPOL ISLAM, MINUS PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM



Apa kabar parpol Islam menjelang Pemilu 2009...? Apa yang mereka lakukan untuk menghadapi pertarungan politik di kancah Pemilu 2009...? Masihkah ambigu terhadap gagasan penerapan syariat Islam. Ya wajar saja, karena mereka menjadikan Islam sebagai tameng untuk meraup suara. Lalu bagaimana “ prestasi “ parpol Islam setelah mereka berkiprah sejak Pemilu lalu hingga sekarang...? Mungkin terlalu dini menilai prestasi parpol Islam di pentas politik nasional. Keberadaan mereka juga masih amat belia. Seperti kata pengamat politik Muslim al – Chaidar, kelahiran reformasi dan parpol Islam pada tahun 1998 lalu terbilang prematur. Boleh jadi demikian, meski ada juga parpol Islam yang telah memiliki basis massa yang kental sejak era Orde Baru. Namun demikian, bukan bersrti indeks prestasi parpol Islam sama sekali tidak bisa diukur. Mengingat jangka waktu dari Pemilu lalu hingga Pemilu 2009 memiliki rentang waktu yang lumayan memadai bagi parpol Islam untuk berkiprah. Ada dua hal yang mungkin bisa menjadi parameter prestasi parpol Islam. Pertama, masihkah parpol Islam dipercaya publik untuk menjadi saluran aspirasi, entitas dan alat perjuangan umat. Kedua, menyangkut gagasan dan ideologi partai; apakah parpol – parpol Islam tersebut berani menampakkan “ benang merah “ misi mereka; menegakkan syariat Islam dan mengusung gagasan Negara Islam...? Dua hal ini sama – sama penting dan saling berkelindan. Dukungan publik menunjukkan tingkat akuntabilitas sebuah parpol di mata khalayak. Jika publik melihat parpol Islam bisa membawa aspirasi mereka, bersikap kritis terhadap kebijakan rezim penguasa yang merugikan hajat hidup rakyat banyak – dan bukan sekedar janji – maka parpol Islam akan menjadi tumpuan harapan umat. Sementara itu, yang kedua – penegakkan syariat dan gagasan Negara Islam – berkaitan dengan integritas parpol tersebut pada ideologi mereka. Apakah asa Islam melekat secara inheren dengan parpol tersebut ( bukan cuma artifisial yang tampak pada perilaku individual para politisinya – misalnya berjenggot, berjilbab, berkoko – tetapi juga tampak pada program, agenda setting politik dan platform perjuangan mereka ). Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi parpol – parpol Islam – baik yang berkiprah pada kancah Pemilu 2009 ataupun yang bergerak ekstraparlementer, tetapi bertujuan untuk memberikan “ peringatan dini “ sekaligus sebagai input yang mudah – mudahan berharga bagi mereka.

Terjebak Pola Lama
Eep Saefullah Fatah, pengamat politik dari LIPI, memberikan sejumlah kritik pada kalangan Islam termasuk parpolnya. Salah satu kritiknya adalah kalangan Islam lebih senang membuat kereumunan ketimbang barisan. Kerumunan, menurutnya bisa saja terdiri dari banyak orang namun sangat rentan karena tidak memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan dan rencana – renca aksi yang dikonsensuskan diantara mereka. Sebaliknya, barisan, sekalipun beranggotakan sedikit, merupakan sebuah kekuatan yang tangguh karena memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan dan rencana – rencana aksi ( Eep Seafullah Fatah, Zaman Kesempatan, h. 260 ). Fenomena ini mudah terlihat. Parpol – parpol Islam peserta Pemilu baru mulai bekerja pada tahapan menjaring pemilih, bukan membangunnya. Mereka baru bergerak menjelang Pemilu – menggalang aneka dukungan; melalukan aksi – aksi sosial, pertemuan partai dengan kalangan umum,; melakukan kontak – kontak politik dengan tokoh – totkoh masyarakat – dan dilakukan intens ( hanya ) menjelang Pemilu. Seolah tidak belajar dari pengalaman, pola tradisional ini masih dipertahankan oleh parpol – parpol Islam. Memang, jika pola ini dikombinasikan dengan memanfaatkan kharisma public figure sebagai votegetter maka efektif untuk menarik pemilih. Akan tetapi, massa yang terbangun dengan cara ini bukanlah massa yang “ sadar “. Massa yang paham dan menjiwai platform partai dan setia memberikan dukungan. Massa yang akan diperoleh parpol Islam dari pola tradisional itu hanyalah kerumunan ( agregat ), floating mass, massa mengambang. Mereka akan berkerumun saat Pemilu tetapi, kemudian rentan untuk menyublim sesudahnya. Ambisi mendulang suara yang berlimpah pada Pemilu dengan pola tradisional akhirnya mengorbankan integritas parpol bersangkutan. Publik yang secara umum masih phobi terhadap Islam akibat trauma politik mas alalu dan juga “ pelintiran “ atas pemikiran Islam oleh Barat ( Ghazwul fikri ) memberikan semacam perasaan “ tidak nyaman “ ( mungkin juga ketakuta ) bagi parpol Islam untuk mengkampanyekan syariat Islam apalagi Negara Islam. Daripada kehilangan pemilih lebih baik mencairkan ideologi partai, begitu pikir mereka. Kondisi inilah yang mungkin menjadi semacam “ keterpaksaan “ bagi parpol Islam sehingga mereka bersikap ambigu terhadap upaya penegakkan syariat Islam dan gagasan Negara Islam. Parpol Islam bisa jadi memilih menjadi parpol yang populer dan populis secepat – cepatnya. Walaupun harus kehilangan taji ideologisnya. Karena itu, tiga kali even Pemilu nyaris sepi dari kampanye penegakkan syariat oleh parpol Islam. Kalangan Islam baru membangun kepercayaan publik lewat jargon – jargon dan slogan – slogan yang terlalu umum, yang kurang mencerminkan karakter dari sebuah parpol Islam yang mengusung ideologi Islam; nyaris tidak ada bedanya dengan parpol – parpol lain pada umumnya. Gejala ini tidak saja khusus menimpa parpol kontestan Pemilu. Parpol Islam atau kelompok dakwah manapun bisa terjebak pada pola ini walau mereka bergerak secara ekstraparlementer. Ini terjadi jika mereka lebih mengejar target kuatitas ketimbang kualitas pendukung. Karena merasa berpacu dengan waktu, parpol Islam akan mematok target kuatitas rekrutmen pendukung sebanyak – banyaknya dengan mengabaikan pembinaan. Memang, dalam hitungan politis, lebih mudah membangun kerumunan ketimbang barisan. Energi, biaya dan waktu yang diperlukan jauh lebih kecil meski dengan hasil tidak maksimal. Daripada mengorbankan ideologi partai dan hanya mendapatkan massa mengambang, seharusnya parpol – parpol Islam mencari pendekatan lain untuk menggalang dukungan. Untuk itu, tidak ada strategi lain kecuali melakukan pembinaan politik kepada publik. Program pencerdasan umat dengan pemikiran – pemikiran Islam jauh lebih berdaya guna ketimbang kegiatan – kegiatan ekstravaganza macam show of force yang kerap mereka lakukan. Pamer kekuatan semacam itu memang menyenangkan, karena menjadi konsumsi publik dan media massa. Akan tetapi bisa membuat lupa diri bahwa parpol Islam seharusnya melakukan gerakan ideologis, bukan cuma gerakan massal. Untuk itu, parpol harus bisa membangun kepercayaan publik pada Islam; mengarahkan visi hidup mereka dan menjelaskan tujuan perjuangan parpol yaitu penegakkan syariat Islam dalam naungan negara. Aktivitas ini tidak cukup hanya dengan kegiatan rutin sekali dalam lima tahun, apalagi hanya menjelang Pemilu, tetapi harus kontinu, teragendakan dan memiliki sasaran yang jelas.

Platform Buram


Kritik lain yang dilontarkan Eep pada kalangan Islam adalah kenyataan kalangan Islam lebih suka mengurusi kulit daripada isi. Soal – soal substantif kerap justru luput dari perhatian kalangan Islam, sementara pada saat yang sama, soal – soal artifisial justru diurusi ( Eep Saefullah Fatah, ibid., h. 257 ). Sebagai contoh, pada kasus RUU sisdiknas kalangan Islam lebih mempersoalkan pasal pendidikan agama yang dikhawatirkan mengundang pemurtadan. Akan tetapi, substansi dari RUU Sisdiknas itu sendiri sebagai produk sistem kapitalis – sekular nyaris tak terjamah. Buktinya demo – demo itu berhenti saat RUU tersebutditunda pengesahannya. Padahal, di sekolah - sekolah di Tanah Air mulai dari tingkat elementer hingga perguruan tinggi – aneka pemikiran kufur bertebaran dan dipelajari anak – anak kaum Muslim. Begitu pula masalah otonomi kampus yang menyebabkan bengkaknya biaya pendidikan atau “ jalur khusus “ di PTN – PTN yang melahirkan “ anak emas “ juga sepi dari perhatian dan kekritisan kalangan Islam. Karena itu, Eep menyarankan agar kalangan Islam mendukung reformasi sistematik; perubahan yang meyeluruh, bukan parsial; perubahan yang substansial, bukan artifisial.
Hanya saja, transformasi politik – sosial – ekonomi yang seharusnya dilakukan umat berpulang pada platform parpol Islam itu sendiri. Apakah parpol – parpol Islam telah memiliki platform yang jelas, visi dan misi perubahan yang jernih ataukah buram...? Tentu saja di dalamnya harus secara iheren terbangun sistem Islam yang akan dituju. Akan tetapi, jika parpol Islam sendiri sudah menutup diri dari penegakkan syariat, bagaimana mungkin transformasi menuju masyarakat yang ideal bisa terwujud. Cukup ironis mengingat masih ada kalangan Islam – termasuk parpol Islam – yang memandang skeptis syariat Islam sebagai problem solving masalah – masalah kemanusiaan. Para politisi Muslim lebih senang dimabuk ide “ civil society “ dan “ demokrasi Islam “ ketimbang Khilafah Islamiyah. Bahkan tidak sedikit politisi Muslim yang dengan sinis menyebut kampanye penegakkan Khilafah sebagai “ nostalgia “ atau “ romantisme historis “. Ada juga yang enggan menyuarakan gagasan Khilafah hanya karena istilah itu masih asing di telinga khalayak. Jika gagasan penegakkan syariat Islam dan Khilafah tertolak, lantas bentuk transformasi apa yang hendak ditawarkan oleh parpol – parpol Islam...? Sebab, civil society ataupun demokrasi Islam yang kini didengang – dengungkan baru sebatas tataran wacana, belum menjadi konsep utuh. Bahkan ia belum pernah menjadi sejarah ( ahistoris )...! Jika upaya penegakkan Khilafah dianggap romantisme sejarah, lalu apa sebutan yang pas bagi perjuangan sebuah gagasan yang masih absurd...? Jangankan demokrasi Islam, ajaran demokrasi sendiri hingga kini masih terus mengalami dialetika. W.B. Gallie beberapa tahun silam pernah mengatakan, “ Demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan, “ Ia menandaskan, “ Ada beberapa perselisihan pandangan yang menyangkut konsep – konsep semacam itu. “ ( John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di negara – negara Muslim). Lebih jauh lagi, Esposito dalam bukunya mengatakan bahwa bagi Barat, konsep “ Demokrasi Islam “ sesungguhnya sebuah anatema (Esposito, ibid.). Pemikir Barat lain, Giovanni Sartori, mengatakan, “ Ketika kita menerapkan konsep demokrasi pada kebanyakan negara Dunia Ketiga, terutama yang disebut negara – negara berkembang, standarnya menjadi lebih rendah sehingga orang mungkin akan sangsi apakah konsep demokrasi masih layak dipakai...? Demokrasi menurut Woodrow Wilson, merupakan bentuk pemerintaha yang paling sulit. “ ( Esposito, ibid.). Jika demokrasi saja sudah sedemikian sulit bahkan absurd, bagaimana lagi konsep “ demokrasi Islam “...? Jangan – jangan ia seperti menegakkan benang basah...? Kenyataanya, belum ada satu negeri Islam pun yang sukses dengan demokrasi Islam.


Akibat Mainstream Politik
Hal lain yang mungkin menyebabkan parpol Islam bersikap ambigu terhadap upya penegakkan syariat adalah mainstream politik yang mereka ikuti. Di negeri – negeri Muslim, keikutsertaan parpol Islam dalam ajang Pemilu selalu disyaratkan mematuhi mainstream politik yang eksis warisan negera – negara kafir imperialis. Sebagian kalangan Islam berdalih dengan kaidah syariat, “ Ma la yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu ( Apa yang tidak bisa diambil seluruhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya). “ dengan kaidah ini, sebagian kalangan Islam melegalkan sikap koperatif dengan mainstream politik yang ada. Dampaknya jelas terasa, yakni munculnya deviasi terhadap terhadap visi dan misi perjuangan parpol itu sendiri. Ketidakkonsistenan politik atau ambiguitas itu, yang paling terasa, adalah saat isu presiden wanita menjelangperhelatan Pemilu lalu, dengan sasaran tembak PDI – P dan Megawati. Para khatib, ustadz, mualim terlepas dari kontituen parpolnya – menyerukan keharaman mengangkat wanita sebagai kepala negara / presiden. Namun, seperti menjilat ludah sendiri, ketika Gusdur sebagai RI – 1 menimbulkan banyak krisis, sebagian politisi Muslim pada parpol Islam justru melegalkan ( atau setidaknya membiarkan ) Megawati naik tampuk kepresidenan. Orang pun bisa menebak bahwa nuansa politis berada di balik keputusan tersebut. Tragis memang, Marilah kita renungi : QS 6 : 153.
Silahkan buka Al – Qurannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi yang pingin berbagi ilmu tentang bisnis internet silahkan atau yang mo share pendapat tentang masalah islami.