Pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kaidah yang digali dari nash – nash syariat. Dengan demikian, status kaidah syariat sama dengan hukum syariat yang lain; sama – sama merupakan hukum yang digali dari dalil syariat dan melalui proses iktihad yang shahih. Disebut sebagai kaidah, karena hukum ini mempunyai posisi sebagai panduan umum, yang padanya hukum – hukum derivat ( turunan ) diurai dari kaidah tersebut. Meski demikian, perlu diberi catatan, bahwa kaidah syariat bukanlah dalil syariat dan tidak layak dijadikan sebagai dalil syariat. Yang dilakukan terhadap kaidah syariat adalah menderivasi ( menurunkan ) hukum – hukum cabang, yang notebane merupakan hukum derivat kaidah tersebut. Dari sinilah digunakan istilah tafri’at al – ahkam ( menderivasi hukum ) dan bukan istinbat al – ahkam ( menggali hukum ).
Dilihat dari aspek khitab ( seruan ) – nya, lahir hukum syariat taklifi, seperti wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah; lahir pula hukum syariat wadh’i, seperti azimah, rukhshah, sabab, syarat, mani, sah, fasad dan batal. Dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum, misalnya hukum haram yang disandarkan pada lafal kulli, seperti al – wasilah ila al – haram muharramah, di sini hukum haram ( muharramah ) disandarkan pada lafal al – wasilah ila al – haram, yang notebane merupakan lafal kulli. Hukum yang disandarkan pada lafal kulli seperti ini disebut hukum kulli. Karena itu, kemudian muncul pembagian hukum kulli, ‘am dan khash. Karena panisbatan hukum pada lafal itu mempunyai konsekuensi adanya struktur lafal ( takrib ), sementara yang memenuhi kriteria seperti itu hanya ada dua, yaitu kaidah dan takrif, maka klasifikasi hukum dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kaidah syariat dan takrif syariat. Masing – masing kemudian bisa diklasifikasikan menjadi kaidah dan takrif syariat kulliyah dan ‘ammah.
Meski demikian, semua hukum syariat tersebut baik yang dilihat dari aspek khitab-nya maupun lafal yang menjadi sandarannya tetap merupakan hukum yang harus digali dari dalil – dalil syariat melalui proses ijtihad yang shahih. Jika tidak, hukum tersebut akan kehilangan statusnya sebagai syariat. Karena itu, memahami dalail syariat dan proses penggalian hukum dari dalil tersebut menjadi sangat penting untuk membuktikan bahwa hukum tersebut memang benar – benar merupakan hukum syariat. Sebagai contoh, kaidah Al – ‘ibrah fi al – ‘uqud li al – maqashid wa al - ma’ani wa la al - alfadz ( yang menjadi pijakan akad adalah maksud dan makna bukan lafal dan susunan kata ) jelasbukan merupakan kaidah syariat. Kaidah ini bertentangan dengan fakta akad yang merupakan ijab ( pengajuan ) dan qabul ( penerimaan ) yang notebane masing – masing merupakan tasharruf qawli ( aktivitas timbal balik secara lisan ). Dalam konteks tasharruf ( aktivitas timbal balik ) baik secara lisan ( qawli ) maupun verbal ( fi’il ) tidak diperlukan niat. Ini berbeda dengan amal yang bukan merupakan aksi timbal balik, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Jenis aktivitas ‘amal mengharuskan adanya niat sedangkan jenis aktivitas tasharruf tidak. Contohnya adalah akad. Karena itu, yang menjadi patokan dalam menilai akad bukan terletak pada niat atau maknanya, melainkan lafal dan redaksi akad tersebut. Di sisi lain dijadikannya niat atau maksud sebagai patokan dalam akad itu lebih karena pengaruh filsafat barat, yang mengenal apa yang disebut dengan spirit of law ( ruh hukum ), yang lahir dari tendensi spiritual ( naz’ah ruhiyah ). Inilah ketentuan umum tentang kaidah syariat sebagai bagian dari hukum syariat. Intinya, ia harus digali dari dalil syariat dan melalui ijtihad yang shahih.
Kaidah ini di mata Ulama Fikih dan Ushul Fikih“ Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya “
Jika kita menganalisis kitab – kitan klasik, baik fikih maupun ushul fikih bisa disimpulkan bahwa kaidah di atas bisa dikatakan jarang dipakai oleh para ulama fikih dan ushul. Kebanyakan ulama fikih dan ushul justru menggunakan kaidah :
“ Perkara yang mudah ( bisa dikerjakan ),
tidak bisa dianggap gugur kewajibannya. Karena
adanya perkara yang sulit ( tidak bisa dikerjakan ) “
Meski kedua kaidah dengan redaksi yang berbeda ini konotasinya sama, sebagaimana kedua – duanya tel;ah digunakan oleh Dr. Muhammad Khayr Haykal dalam disertasi doktoralnya. Al – jihad wa al – Qital fi as – Siyasah as – Syar’iyyah, kaidah kedualah yang lebih populer di kalangan ulama ushul mtaakhir.
Dalam kitab – kitab klasik dan mutaakhir, kita akan menemukan kaidah ini, masing – masing dalam kitab Awn – al – Ma’bud, karya Abu Thayyib dan kitab Abjad al – Ulum, karya Shadiq al – Qanuji ( w. 1307 ) meski keduanya tidak dalam konteks menguraikan kaidah tersebut. Sedangkan kaidah kedua banyak digunakan oleh ulama fikih ushul klasik, antara lain, al – ibhaj karya as – Subki ( w. 756 H ), al – Asybah wa an – Nadha’ir karya as – Suyuthi ( w. 911 H ) dan lai – lain.
Ditilik dari maknanya, keduanya mempunyai persamaan maksud, meski demikian dengan konteks redaksional yang berbeda. Masing – masing menjelaskan hukum melaksanakan kewajiban syariat, bahwa hukum melaksanakan kewajiban adalah wajib, dan kewajiban itu tetap wajib dilaksanakan meski kewajiban itu merupakan perkara yang ma’sur ( sukar ). Sebab, sukarnya kewajiban tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban secara keseluruhan, termasuk yang bisa dilaksanakan ( al – maysur ). Dari sinilah, konteks kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ( apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya )menemukan persamaannya dengan kaidah al – maysur di atas. Artinya, tidak mungkinnya suatu kewajiban untuk dilaksanakan secara keseluruhan tidak berarti semuanya menjadi tidak wajib atau boleh ditinggalkan.Akan tetapi, mana yang mungkin itulah yang harsu dilaksanakan.
Menurut as – Suyuthi, kaidah di atas digali dari Hadis Nabi SAW, yang mengatakan : “ Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan, tunaikanlah urusan itu sesuai dengan kemampuan kalian, “.Hanya saja, konteks ma-statha’tum ( sesuai dengan kemampuan kalian), mengindikasikan adanya aqsha al-istitha’ah ( kemampuan yang paling tinggi ) dan bukan semampunya. Misalnya, jika seseorang mempunyai kemampuan 10, maka tidak dikatakan ma’statha’tum, ketika dia menunaikan perintah tersebut hanya dengan kemampuan 8 atau 9. baru ketika dia menunaikannya dengan kemampuan 10, bisa dikatakan bahwa dia telah menunaikan perintah tersebut sesuai dengan kualifikasi ma-statha’tum.
Dari Lingkup Kaidah Dilihat dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum pelaksanaan kewajiban tersebut, maka baik ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ataupun al – maysur la yasquthu bi al – ma’sur, yang notebane merupakan lafal kulli, bisa disimpulkan bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah kulliyah. Karena itu, kaidah ini meliputi banyak aspek. Bahkan, kaidah ini disebut – sebut oleh ulama ushul sebagai persoalan ushul yang sangat luas, yang nyaris tidak pernah dilupakan. Kaidah ini bisa digunakan dalam konteks ibadah. Misalnya, ketika seseorang dipenjara, sementara didalamnya tidak tersedia air dan juga tidak ada debu yang suci, maka ketika tiba waktunya shalat, orang tersebut tetap wajib menunaikan shalat, meski tanpa wudhu dan tayamum. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu dan tayamum di dalam penjara itu pada dasarnya tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban shalat orang tersebut. Sama dengan ketika seseorang yang baru masuk Islam yang notebane belum menguasai bacaan shalat, mulai dari takbir, al – Fatihah hingga doa – doa yang harus dibaca di dalamnya tidak berarti orang tersebut tidak wajib mengerjakan shalat. Sebaliknya, dia tetap wajib menunaikan kewajiban tersebut, meski untuk itu dia harus di talqin ( dipandu ) oleh orang lain. Kaidah ini juga bisa digunakan dalam konteks lain. Ketika Rasulullah SAW dan kaum Muslim tengah menghadapi pasukan koalisi musuh yang jumlahnya sangat besar dalam Perang Khandak, beliau menyadari bahwa pasukan beliau tidak mampu mengalahkan mereka. Namun, tidak berarti bahwa mereka juga diperbolehkan untuk menyerah kepada pasukan koalisi musuh. Dalam situasi seperti iini, yang mungkin bagi Rasul sebagai panglima perang dan kepala negara Islam ketika itu, adalah melakukan perjanjian damai. Sebab, melakukan perjanjian damai ini masih mungkin dilakukan. Karena itu, kemungkinan ini tetap wajib dilaksanakan. Pada titik inilah kaidah : al – maysur la yusquthu ( perkara yang mudah [ bisa dikerjakan ] tidak bisa dianggap gugur kewajibannya karena adanya perkara yang sulit [ tidak bisa dilakukan ] ), atau kaidah : ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ( yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya) bisa dipraktikkan.
Ini berbeda dengan status perjanijian damai yang dilakukan oleh otoritas Palestina dengan etnis yahudi, yang pernah difatwakan kebolehannya dengan justifikasi kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu. Penggunaan kaidah tersebut dalam konteks seperti ini jelas batil. Alasannya, karena baik otoritas Palestina maupun negeri – negeri Muslim di sekitarnya yang notebane terkena kewajiban berjihad untuk melawan Israel tidak pernah melakukan usaha untuk meraih semuanya, yaitu terbebasnya wilayah Palestina dari cengkraman yahudi dan hilangnya entitas yahudi dari wilayah tersebut. Sejak awal para penguasa tidak pernah mempersoalkan keberadaan entitas yahudi di bumi Palestina. Padahal, inilah masalah utmanya, bukan persoalan perbatasan atau yang lain. Ini merupakan bukti yang nyata, bahwa usaha untuk menyelesaikan krisis Palestina tersebut memang tidak pernah dilakukan dengan sungguh – sungguh. Lalu, bagaimana mungkin bisa dikatakan, ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu...?
Dalam konteks dakwah, kewajiban dakwah ini harus dilakukan secara maksimal ( aqsha al – istitha’ah ), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. setelah dilakukan secara maksimal, ternyata belum berhasil meraih tujuan, yaitu isti’naf al – hayah al - Islamiyyah ( melangsungkan kembali kehidupan Islam ), justru sebaliknya para pengembannya mendapatkan berbagi ujian, baik teror, penyiksaan fisik, eliminasi maupun yang lain, sehingga kewajiban tersebut menjadi stagnan. Karena itu, thalab an – nushrah dalam konteks seperti ini merupakan bagian dari kewajiban yang bisa dilakukan sehingga secara keseluruhan dakwah tetap bisa dilaksanakan. Artinya, thalab an – nushrah dalam konteks seperti ini merupakan perkara yang bisa dilaksanakan ( al – maysur ) makanya harus dilakukan baik untuk melindungi dakwah ( himayah ad – da’wah ) maupun untuk mendapatkan kekuasaan ( istilam al – hukm). Pada titik ini, melakukan thalab an – nushrah, selain merupakan kewajiban, yang dicontohkan oleh Rasul juga merupakan implementasi dari kaidah al – maysur la yusqutu bi al – ma’sur atau kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu. Sebaliknya, berbagai kompromi dengan sistem kufur dan para pengembannya yang dilakukan pada titik kritis seperti ini tetap tidak bisa dijustifikasi dengan kaidah tersebut. Sebab, konteks al – maysur maupun la yutraku jalluhu sama – sama berkaitan dengan sesuatu yang menjadi bagian dari kewajiban yang ditunaikan, atau apa saja yang terkait langsung dengan pelaksanaanya. Sebaliknya, perkara yang justru bertentangan dengan kewajiban tersebut, seperti kompromi dengan sistem kufur dan para pengembannya jelas out of context. Karena itu, tetap tidak bisa dijustifikasi dengan kaidah ini.
Dalam kasus pemilu, Islam memandang bahwa pemilu merupakan perkara yang mubah, dan tidak wajib. Sebab, pemilu merupakan salah satu uslub ( cara ) untuk memilih wakil, dan bukan thariqah ( metode ). Dalil kemubahannya adalah perbuatan RasulSAw, ketika meminta kaum Anshar untuk memilih 12 wakil dari kalangan meeka. Namun, setelah itu Rasul tidak pernah melakukannya lagi. Karena itu, hukum asal pemilu tetap mubah. Jika kemubahan ini terkait langsung dengan pelaksanaan kewajiban, yaitu melakukan perubahan sistem, dari sistem kufur menjadi sistem Islam, maka konteks kaidah al – maysur la yasquthu bi al – ma’sur atau kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu bisa digunakan. Sebaliknya, jika kemubahan ini terkait langsung atau bahkan bertentangan dengan kewajiban yang hendak ditegakkan maka kaidah tersebut jelas tidak bisa digunakan.
Dari paparan di atas bisa disimpulkan, bahwa kaidah “ ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu “ adalah kaidah kulliyah, yang bisa digunakan dalam berbagai konteks ditunaikannya kewajiban. Hanya saja, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan :
a. Konteks ma la yudraku kulluhu bisa dilakukan jika memang ada usaha yang dilakukan secara sungguh – sungguh untuk meraih seluruh kewajiban yang diperintahkan. Sebaliknya jika tidak ada usaha untuk meraih kewajiban yang diperinyahkan denagn sungguh – sungguh maka tidak bisa digunakan.
b. Konteks “ tidak bisa meraih semuanya “ adalah meraih semua kewajiban, misalnya ada satu kewajiban yang memiliki 10 poin, namun dalam pelaksanaannya karena berbagai kesulitan yang ada ke – 10 poin tersebut tidak bisa diraih semuanya, maka tidak berarti semuanya harus ditinggalkan. Yang bisa diraih itulah yang harus dilaksanakan. Inilah yang dimaksud dengan la yutraku jalluhu atau al – maysur. Karena itu, konteks “ yang bisa dilaksanakan “ merupakan bagian dari konteks “ yang tidak bisa dilaksanakan “ yaitu sama – sama merupakan perkara yang asalnya diwajibkan. Itu artinya, apa yang berada di luar konteks kewajiban tersebut tidak bisa dimasukkan dalam konteks ini.
c. Batasan ma la yudraku kulluhu atau al – ma’sur itu bisa ditentukan setelah kewajiban tersebut dilakukan. Sebelum kewajiban tersebut dilakukan tentu tidak bisa dikatakan tidak mungkin dan tidak bisa dilaksanakan. Ikhtiar untuk melaksanakannya pun harus maksimal, tidak boleh setengah – setengah. Dengan kata lain, harus aqsha al – wus’i ( potensi paling tinggi ) atau aqsha al – istitha’ah ( kemampuan paling tinggi ). Jika mempunyai potensi atau kemampuan 10, maka harus diberikan 10 untuk menunaikan kewajiban tersebut, sehingga baru layak disebut aqsha al – wus’i atau aqsha al – istitha’ah. Jika kemampuan 10 tapi yang diberikan hanya 5, 8 atau 9,5 maka dalam hal ini belum layak disebut aqsha al – wus’i atau aqsha al – istitha’ah. Setelah memberikan 10 ternyata masih belum bisa menjangkau pelaksanaan seluruh kewajiban tersebut, maka mana di antara kewajiban tersebut yang bisa dijangkau itulah yang harus dilakukan.
Inilah beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menggunakan kaidah ma la yudraku kulluhu tersebut.Wallahu a’lam bi ash – shawab.Daftar pustaka :
1. Ali Raghib, Ahkam as –Shalah, Dar an – Nadhah al – Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1991, hlm. 8.
2. An – Nabhani, as - Syakhshiyyah al – Islamiyyah, juz III, hlm. 445.
3. Muhammad Khayr Haykal, al – jihad wa al – Qital fi as – Siyasah as – Syar’iyyah, Dar al – Bayariq, Beirut, cet II, 1996, juz I, hlm. 735.
4. Abu Thayyib, ‘Awn al – Ma’bud, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1415, juz X, hlm. 233.
5. Shadiq al – Qanuji, Abjad al – ‘Ulum, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, 1978, juz III, hlm. 267.
6. Abd al – Kafi as – Subki, al – Ibhaj, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1404, juz I, hlm. 118.
7. As – Suyuthi, al – Asybah wa an – Nadha’ir, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1403, hlm. 159.
8. HR al – Bukhari dan Muslim, Lihat : al – Asqalani, Fath al – Bari, Dar al – Ma’rifah, Beirut, 1379, juz XIII, hlm. 261; as – Suyuthi, al – Asybah, hlm. 159.
9. As – Suyuthi, al – Asybah, hlm. 159; al – Hadhrami, Idhah al – Qawa’id, al – Haramayn li at – thiba’ah, t.t., hlm. 91.