IKLAN

Free Website Hosting

Sabtu, 16 Mei 2009

KAIDAH " DARIPADA "


Kalau ditanya, kaidah apa yang paling populer dalam perpolitikan kaum Muslim sekarang ...? Besar kemungkinan jawabannya adalah kaidah ‘ daripada ‘. Dari pada sistem otoriter lebih baik demokrasi, daripada capres A yang sekuler lebih baik capres B yang sekulernya sedikit, daripada semuanya non-Muslim lebih baik kita juga ikutan, daripada tidak ada dalam sistem itu dan tidak bisa berbuat apa-apa kan lebih baik ikut sistem, demikian seterusnya. Kaidah ‘daripada‘ ini sesungguhnya merupakan cerminan dari sikap pragmatisme politik kaum Muslim saat ini.
Memang, ‘pragmatisme‘ menjadi gejala umum di kalangan kaum Muslim, khususnya dalam berpolitik. Inti pragmatisme adalah tunduk pada realita (kenyataan), seakan-akan realita tersebut tidak bisa diubah. Doktrin-doktrin seperti, “kenyataan tidak bisa diubah”, atau “negara ini sudah final“ memang terus ditanamkan di benak kaum Muslim hingga kaum Muslim putus asa. Pernyataan bahwa, “Sistem Khilafah memang ideal, tetapi itu kan utopis,“yang sering kita dengar merupakan cerminan sikap putus asa.
Tentu tidak benar jika dikatakan bahwa sistem kehidupan ini tidak bisa diubah. Bukankah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebelumnya tidak ada, kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI diproklamasikan...? bukankah sebelum sistem sekuler diadopsi oleh negara-negara Barat, mereka menerapkan sistem kerajaan-teokrasi...?bukankah sebelumnya kaum Muslim bersatu di bawah naungan Daulah Khilafah, yang kemudian terpecah-belah menjadi negara-negara kecil dengan asas sekuler...? karena itu, sistem sekarang juga tentu bisa diubah. Semuanya bergantung pada kemauan masyarakatnya. Kemauan masyarakat itu bergantung pada kesadaran mereka. Artinya, perubahan sisten seperti apapun bisa terjadi, bergantung pada kemauan dan kesadaran masyarakat.
Apa yang kemudian menjadi ukuran baik dan buruk dalam pragmatisme ini...? tentu bukan lagi hukum syariat, tetapi kemanfaatan yang didominasi oleh hawa nafsu manusia. Kemaslahatan sendiri, dalam filsafat politik Barat, sering disebut dengan utilitarianisme. Salah satu pemikir utama utilitarian ini adalah Jhon Stuart Mill (1806-1873). Teori utilitarianisme (kemanfaatan) ini berpangkal pada pandangan bahwa sikap dan tindakan manusia menurut kodratnya ditentukan oleh sakit dan senang, benar atau salah. Hubungan sebab-akibat berpangkal pada ketentuan sakit dan senang itu. Kesenangan itu baik, bahkan kebaikan yang sesungguhnya, dan merupakan satu-satunya kebaikan. Sakit itu tidak baik dan merupakan satu-satunya kejahatan. (Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat, hlm. 169) sakit dan senag, menurut Jeremy Bentham, bapak aliran ini, merupakan ukuran manusia dalam sikap politik. Baik dan buruk kemudian sangat bergantung pada apakah perkara itu memuaskan kesenangan fisik (jasad) manusia atau tidak.
Memang, banyak para politisi Muslim merujuk pada kaidah syariat yang cukup populer, yakni, “Ahwan asy-Syarrayn” atau “Akhaffu ad-Dharrayn” intinya adalah memilih kemadaratan atau keburukan yang paling ringan. Namun kenyataannnya, kaidah ini digunakan secara sembarangan. Padahal, kaidah ini hanya bisa digunakan dalam kondisi yang tidak ada pilihan lain kecuali ketika dihadapkan dua perkara buruk.
Pertanyaannya, apakah kita sekarang sedasng dihadapkan pada dua pilihan buruk...? tentu tidak. Kita tidak ada dalam posisi harus memilih antara sistem demokrasi atau otoriter...? tidak juga dalam posisi memilih capres A yang sekuler denagn capres B yang sedikit sekulernya. Kita masih punya pilihan ketiga. Kita tidak memilih demokrasi tetapi juga bukan otoriter. Pilihan kita adalah Sistem Daulah Khilafah. Kita juga tidak dalam posisi harus memilih dua nama capres yang sama-sama buruk. Kita masih punya pilihan lain, mengangkat Khalifah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Di samping itu, yang menentukan standar kemadaratan atau keburukan adalah hukum syariat. Pada faktanya, sekarang ini standar kemadaratan atau keburukan lebih didasarkan pada kemauan hawa nafsu manusia. Padahal Allah SWT telah menjelaskan ketidakmampuan manusia dalam menentukan baik dan buruk, kalau hanya berdasarkan pada dirinya, apalagi kepuasaan dirinya. (Lihat QS al-Baqarah [2] : 216). Dalam konteks ini, Asy-Syatibi mengatakan bahwa meraih kemaslahatan dengan cara yang bertentangan dengan syariat adalah bid’ah. Argumentasi kaidah ‘daripada’ ini jelas sangat berbahaya kalau dijadikan oleh umat sebagai patokan dalam tindakannya sehari-hari. Bayangkan kalau seorang pelacur menggunakan kaidah ‘daripada’ untuk membenarkan tindakannya, “Daripada anak saya tidak makan, lebih baik saya melacur”, “Daripada saya golput, lebih baik saya ikut pemilu”. Daripada saya menolak cawapres lebih baik saya mendukungnnya. Jadi jelas kaidah “daripada” ini merupakan bom waktu yang berbahaya bagi masyarakat. Bahaya lain kaidah “daripada” ini adalah dominannya relativisme kebenaran. Karena tidak ada patokan, mana yang baik dan mana yang buruk, semua orang bisa bertindak seenaknya.
Islam jelas menolak relativisme kebenaran ini. Dalam Islam, sangat jelas yang disebut syarr (keburukan) adalah sesuatu yang dibenci Allah SWT, yakni yang bertentangan dengan syariat-Nya. Sebaliknya, khyar (kebaikkan) adalah yang diridhai oleh Allah SWT yakni yang sejalan dengan syariat-Nya. Kaidah “daripada” juga telah menjerumuskan politisi Islam pada sikap plin-plan tidak istiqamah. Saat punya kepentingan untuk parpolnya muncul fatwa, “Pemilu itu wajib, golput haram”. Sebaliknya kalau tidak ada lagi kepentingan, “Golput tidak apa-apa”, Kalau punya interest politik, “Presiden wanita haram” Kalau interest-nya berubah yang haram bisa jadi halal. Umat Islam zaman sekarang ini seperti Anjing, jika tidak kebagian tulang dia akan menggonggong dengan keras tetapi setelah dia kebagian tulang dia diam saja. Padahal hanya ada satu yang haram itu bisa menjadi halal...? yaitu daging mentah. Daging mentah itu asalnya haram tetapi setelah adanya ijab qabul maka daging mentah itu menjadi halal, bahkan nikmat sekali, katanya. Bahkan banyak orang baik tua maupun muda yang ketagihan sama daging mentah. Hahahahahaha. Sikap plin-plan seperti ini jelas bisa membuat umat kehilangan kepercayaan pada partai Islam, termasuk pada gagasan syariat Islam. Kalau ini terjadi, penegakkan syariat Islam yang merupakan cita-cita bersama umat Islam akan semakin sulit. Na’udzu billah !!!!!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 28 Maret 2009

UPAYA MENGASINGKAN ISLAM ( ISLAMOPHOBIA )

“ Muslim fundamentalism is at least as dangerous as Communism once was. Please do not underestimate this risk..... at the conclusion of this age it is a serious threat, because it represent terrosim, religious fanatism and exploitation of social and economic justice. “ ( A TV interview reported by Inter Press Service, 18 February 1995).


Itu adalah ucapan Will Claes, mantan Sekjen Nato yang merefleksikan kekhawatiran ( baca : ketakutan ) Barat terhadap Islam dan kaum Muslim. Jauh – jauh hari, sebelum peristiwa 911 ( peruntuhan gedung WTC pada tahun 2001 ) Will Claes telah menyamakan kaum Muslim yang berpegang teguh pada agamanya sebagai teroris. Dia juga mewanti – wanti bahwa kaum Muslim fundamentalis – demikian dia menyebut kaum Muslim yang teguh pada ajaran Islam – jauh lebih berbahaya daripada pengikut komunis sehingga jangan di anggap remeh !
Ketakutan terhadap Islam sudah ada sejak Perang Salib meletus; disusul dengan era penjajahan Barat atas negeri – negeri Muslim hingga berakhirnya masa Kekhalifahan Islam yang terakhir ( tahun 1924 ). Selama kurun waktu itu pula terbentuk Islamophobia ( ketakutan pada Islam ) yang sengaja diciptakan Barat untuk mendeskriditkan kaum Muslim, mengisolasi mereka dan membuangnya sebagai sampah peradaban. Jika dulu kaum Muslim mereka cap dengan stempel terbelakang, barbar, tidak berpikiran maju / produktif, jorok dan lain – lain maka sekarang mereka mencap kaum Muslim yang berpegang teguh dengan ajaran Islam dengan label teroris, ekstremis, fundamentalis dan sejenisnya.
Islamophobia adalah hasil samping dari benturan peradaban antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Barat menggunakan segala cara untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim. Peradaban Barat tidak akan mampu bertahan hidup di atas kakinyasendiri, kecuali dengan melakukan invasi, kolonisasi, eksploitasi dan imperialisasi. Hanya dengan itu Barat bisa mereguk energi yang dimiliki bangsa – bangsa lain yang kaya tanpa harus mengeluarkan ‘ keringat ‘. Peradaban Barat tidak mampu mencukupi kebutuhan akal dan hawa nafsu masyarakatnya yang hedonis-materialistis, sehingga imperialisme ( penjajahan ) menjadi sesuatu yang niscaya bagi mereka, bahkan merupakan ciri khas dari ideologi Kapitalisme. Peradaban Barat bagaikan benalu bagi umat manusia. Ia tidak bisa hidup, kecuali dengan mengganggu dan menggerogoti peradaban lain. Karena itu, tidak mengherankan jika kita menyaksikan keberadaan peradaban Barat sepanjang sejarah umat manusia hanya menyisakan penderitaan, kesengsaraan dan kezaliman. Amerika Serikat saja, selama periode seratus tahun terakhir, telah melakukan invasi lebih dari 100 kali ke negara – negara lain. Tidak salah jika AS dan sekutunya dikategorikan sebagai trouble maker ( si pembuat keonaran ), karena dengan cara begitulah dia hidup.
Sementara itu, kaum Muslim sebagai sebuah peradaban juga berhak untuk hidup. Oleh karena itu, wajar jika mereka berpegang teguh dan menaati ajaran agamanya serta menjalankan seluruh perintah Allah SWT dan Rasul_Nya. Apabila negeri – negeri mereka diancam, diserang, dieksploitasi dan dijajah; rakyat mereka disakiti, diusir, dianiaya dan dibantai; rumah dan harta mereka hancur karena pendudukan Barat dan sukutunya; maka wajar pula jika mereka melawan, membalas dan mengusir musuh – musuh mereka dari negeri – negeri mereka. Hal itu dilakukan oleh kaum Muslim terhadap peradaban Barat yang menodai kesucian negeri – negeri kaum Muslim, mencoreng kehormatan Islam, dan secara terang – terangan menghina Islam dan kaum Muslim. Sungguh sangat tragis ! Pada masa kita hidup sekarang ini, orang – orang yang memegang teguh agamanya, mengejar keridhaan Allah SWT.., dan konsisten mengikuti petunjuk dan manhaj Nabi SAW, dihina dan dilecehkan dengan kata – kata menjijikan, yaitu “ Teroris “ ! Sebaliknya, teroris sejati dielu – elukan bak pahlawan pembela kebenaran.
Begitulah yang terjadi saat ini, propaganda ‘ war on terror ‘ yang diserukan AS beserta sekutunya pada hakikatnya adalah perang melawan Islam dan kaum Muslim. Itu merupakan bagian dari sejarah panjang perang peradaban Barat terhadap peradaban Islam. Dengan propaganda tersebut AS berhasil ‘ menyihir seluruh dunia ‘ guna mengikuti jejaknya, menciptakan ketakutan terhadap Islam; Islamophobia. Propaganda perang melawan teror telah melupakan begitu saja invasi AS ke Afganistan dan Irak. Seakan – akan penduduk AS itu adalah sesuatu yang ringan.
Barat sangat paham bahwa musuh terberatnya hanyalah Islam dan kaum Muslim. Untuk menghancurkannya, Barat sendiri tidak akan mampu. Oleh karena itu, Barat merangkul seluruh dunia, termasuk para penguasa Muslim yang menjadi kaki tangannya; kaum intelektual Muslim yang dibina oleh mereka; para ulama yang cinta dunia dan tidak takut kepada Allah; serta mayoritas masyarakat manusia yang kondisinya bodoh sehingga mudah dibodohi. Semuanya digalang untuk memojokkan Islam, mengasingkan orang – orang Islam yang memegang teguh ajarannya, dan menyingkirkan kaum Muslim yang melawannya. Akibatnya, ajaran Islam menjadi sesuatu yang asing. Orang – orang yang menaati Allah SWT dan megikuti Sunnah Nabi-Nya bagaikan orang asing di hadapan masyarakatnya. Benarlah sabda Rasulullah SAW :
“ Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing seperti semula. Berbahagialah orang – orang yang terasing “. (HR Muslim).

Rabu, 18 Maret 2009

PENERAPAN SYARIAT ADALAH BUKTI KEIMANAN


QS an – Nisa’ [4] : 65

“ Sungguh, demi Tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya “

Menurut Atha’. Mujahid dan asy – Sya’bi ayat ini masih berhubungan dengan ayat sebelumnya yang turun berkenaan dengan perselisihan seorang munafik dan yahudi. Dalam perselisihan tersebut, orang yahudi menginginkan Rasulullah SAW sebagai hakimnya, sementara orang munafik justru mengajak ber – tahkim kepada Ka’ab bin Asyraf. Kemudian turunlah ayat di atas, yang sebelumnya diawali ayat berikut :
“ Apakah kamu tidak memperhatikan orang – orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sbelum kamu ? Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut. “ ( QS an – Nisa’ [4] : 60 ). Pendapat ini didukung Fakhruddin ar-Razi, Ibn ar-Rabi dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Menurut ath-Thabari ayat ini masih dalam konteks kisah orang – orang yang diceritakan Allah SWT, mulai dari ayat 60. di samping itu, tidak ada dalalah (bukti) yang menunjukkan terputusnya kisah mereka. Menurut pendapat lain, ayat ini turun secara terpisah dengan ayat sebelumnya. Sabab nuzulnya berkenaan dengan perselisihan Zubayr bin al-‘Awwam dengan seorang laki – laki Anshar dalm hal pengairan kebun. Dalam kasus ini, Rasulullah SAW memutuskan agar air dialirkan ke kebun Zubayr lebih dulu, karena letak kebunnya lebih dekat aliran air. Laki – laki Anshar itu merasa keberatan dan berkata, “ Wahai Rasulullah, apakah karena ia anak pamanmu?” Mendengar perkataan itu, wajah Rasulullah SAW berubah lalu bersabda, “ Airilah kebunmu hai Zubayr, tahanlah hingga melampui pematangnya, kemudian alirkan ke tetanggamu.” Menurut Zubayr, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Demikian riwayat Ahmad, Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, Ibn Jarir, Ib Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi. Sekalipun terdapat perbedaan pendapat tentang sabab an-nuzul-nya, ayat ini tidak hanya dikhususkan untuk orang munafik yang ber-tahkim kepada Ka’ab bin Asyraf atau laki-laki Anshar yang keberatan dengan keputusan Nabi SAW, ketika berselisih dengan Zubayr bin al-Awwam saja. Ayat ini berlaku umum, meliputi setiap orang dan mencakup setiap perkara, sebagaimana ditegaskan dalam ayat sebelumnya (QS an-Nisa’ [4] : 64). Ini dilakukan pada saat Nabi SAW masih hidup. Sepeninggal beliau, tentu kaum Muslim harus ber-tahkim pada al-Quran dan as-Sunnah.
Ayat ini diawali dengan frasa fala warabbika. Allah SWT bersumpah dengan Zat-Nya Yang Maha Suci, wa rabbika (demi tuhanmu). disandarkannya kata rabb kepada (Rasulullah SAW) sebagai bentuk kaf al-khithabta’zhim (penghormatan) kepada beliau. Sedangkan kata la, menurut ath-Thabari adalah untuk menafikan perkara yang disebutkan sebelumnya, sehingga maknanya, “ Perkaranya tidak seperti yang mereka dakwakan, bahwa mereka telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu, padahal mereka justru ber-tahkim kepada thaghut dan berpaling darimu tatkala diseru kepadamu.” Berbeda dengan ath-Thabari,menurut ar-Razi dan az-Zamahsyari kata la dalam ayat tersebut merupakan mazidah yang berfungsi untuk yang berfungsi untuk menegaskan makna sumpah (li ta’kid ma’na al-qasam) dan mengagungkan perkara yang disumpahkan (li ta’zhim al-muqsam bih). Untuk memperkuat argumentasinya mereka menunjukkan ayat-ayat lain seperti QS al-Qiyamah : 1, QS al-Insyiqaq : 16 yang menggunakan la mazidah untuk menegaskan makna qasam (sumpah). Oleh karena itu, frasa awal ayat itu dapat diartikan Sungguh, demi Tuhanmu.
Setelah bersumpah dengan Zat-Nya Yang Maha Suci dan Maha Agung, lalu disampaikan jawab al-qasam-nya : la’ yu’minu’na hatta’ yuhakkimuka fi’ ma’ syajara baynahum (mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan). Kata hatta’ memberikan makna gha’yah (batas akhir). Itu berarti, mereka baru dapat dikategorikan sebagai Mukmin ketika mereka telah mengerjakan semua perbuatan yang disebutkan setelahnya (kata hatta’). Perbuatan tersebut adalah yuhakkimuka fi’ ma’ syajara baynahum. Kata yuhakkimuka berarti yaj’aluka hakam[an] (mereka menjadikan kamu sebagai hakim), sedangkan fi’ ma’ syajara baynahum berarti fi’ ma’ ihktalatha baynahum (dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan diantara mereka).
Pada frasa ini Allah SWT menegaskan keimanan mereka sebelum mereka bersedia menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim yang memutuskan semua perkara mereka dan tidak mengangkat hakim selain beliau.
Selanjutnya Allah SWT berfirman : Menurut Mujahid, kata haraj bermakna Tsumma la’ yajidu fi’ anfusihimharaj[an] mima’qadhayta.asy-syakk (keraguan), karena orang yang ragu, dadanya akan terasa sempit dalam menjalankan perintahnya. Musafir lainnya menjelaskan bahwa kata haraj berarti dhayyiq (sesak atau sempit). Artinya, dada mereka tidak merasa sesak terhadap keputusan Rasulullah SAW dan mereka pun meresa ridha dengan keputusan beliau.
Frasa ini memberikan syarat lanjutan bagi siapa pun yag ingin dikelompokkan sebagai Mukmin. Ia tidak hanya sanggup ber-tahkim kepada Rasulullah SAW, namun hatinya juga merasa yakin dan ridha dengan semua keputusan beliau SAW.
Kemudian Allah SWT, berfirman : wa yusallimu taslim[an]. Kata yusallimu berarti yanqadu wa yud’inu (mereka tunduk dan patuh). Artinya, mereka tunduk dan patuh pada keputusanmu, tidak membantah sedikitpun, dan tidak menyelisihinya baik secara lahir maupun batin. Dengan ditambahkannya kata taslum[an] bentuk masdar yang berfungsi sebagai penguat ketundukan pada keputusan Rasulullah SAW itu harus benar-benar tulus dan total. Menurut az-Zuhayli, frasa ini masuk dalam tahap pelaksanaan. Kadang-kadang, ada seseorang yang menganggap benar sebuah hukum, tetapi dia menghindar untuk melaksanakannya.
Karena itu, seorang Mukmin tidak hanya harus ber-tahkim kepada Rasulullah SAW dan hatinya merasa puas dengan keputusan tersebut, namun juga harus tunduk dan patuh kepadanya yang diimplementasikan dalam bentuk perbuatan. Rasulullah Saw bersabda :
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seseorang di antara kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti (risalah) yang aku bawa (HR. Muslim).


Beberapa komentar dari para Ahli Tafsir


Mengomentari ayat ini, al-Jashash berkata, “ Ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menolak salah satu perintah Rasulullah SAW telah keluar dari Islam; sama saja apakah penolakan itu disebabkan karena ragu, tidak menerima atau menolak untuk tunduk. Inilah pendapat para sahabat yang sah ketika mereka menghukumi murtad orang yang menolak membayar zakat, membunuh mereka dan menawan tawanan mereka. Sebab, Allah SWT telah menetapkan bahwa siapa saja yang tidak menerima keputusan Nabi SAW dan hukumnya tidak termasuk ahl al-iman.
Sedangkan Ibnu Katsir menyatakan, “ Allah SWT bersumpah dengan Dirinya Yang Maha Mulia dan Maha Suci, bahwa seseorang tidak beriman hingga ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam semua perkara. Apa yang diputuskan olehnya adalah sebuah kebenaran yang wajib ditaati, baik lahir maupun batin.
Berdasarkan uraian diatas, ayat ini menetapkan bahwa seseorang dapat dianggap telah beriman jika memenuhi tiga syarat :
1. Sanggup ber-tahkim kepada Rasulullah SAW pada setiap perkara yang mereka hadapi.
2. Dadanya tidak ada rasa berat, sesak atau ragu terhadap semua keputusan Rasulullah SAW, sebaliknya hatinya merasa lapang dan ridha.
3. Bersedia menerima, mentaati dan melaksanakan keputusan Rasulullah SAW tidak ada keinginan untuk membantah atau menolaknya sedikit pun.

Sunah Sebagai Sumber Hukum


Taat kepada Rasulullah SAW merupakan sebuah kewajiban. Ditolaknya iman orang yang tidak mau menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim dalam urusan kehidupannya sebagaimana disebut ayat diatas merupakan qarinah (indikasi) yang amat jelas tentang kewajiban tersebut. Menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim berarti menjadikan semua keputusan beliau sebagai acuan, standar dan parameter untuk menilai baik buruknya segala sesuatu.
Pada hakikatnya, menaati Rasulullah SAW sama halnya dengan menaati Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam QS an-Nisa : 64 (silahkan buka al-Qurannya). Perintah untuk mengikuti dan menaati Rasulullah SAW bertebaran dalam al-Quran, seperti : QS al-Hasyr : 7, QS al-Ahzab : 36, QS an-Nisa : 59, Qs an-Nur : 64, QS ali Imran : 31. Semua ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya menaati seluruh risalah yang dibawa Rasulullah SAW. Karena yang dibawa beliau bukan hanya al-Quran, namun juga as-Sunnah, maka berdasarkan ayat-ayat tersebut, setiap Muslim juga wajib menjadikan as-Sunnah sebagai sumber hukum. Tidak boleh ada keraguan sedikitpun akan kebenaran as-Sunnah; baik dalam perkara akidah maupun syariat. Sebab, sebagaimana al-Quran, as-Sunnah juga berasal dari wahyu; Allah SWT berfirman dalam QS an-Najm : 3 – 4. (silahkan buka al-Qurannya).
Beberapa ayat lainyang senada dengannya adalah QS al-Anbiya : 45, QS Shad : 7, dan QS al-An’am : 50. semuanya menunjukkan secara pasti bahwa yang diucapkan Rasulullah SAW adalah wahyu. Demikian pula perbuatan dan persetujuannya.
Bertolak dari dalil-dalil tersebut, wajib menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum. Membatasi diri hanya pada al-Quran dan meninggalkan as-Sunnah merupakan kekufuran yang nyata.


Tunduk Pada Syariat adalah Bukti Keimanan

Ayat diatas juga mengungkapkan keterkaitan antara iman dan amal perbuatan. Memang, iman merupakan itikad qalbu. Karenanya, amal perbuatan tidak termasuk dalam cakupannya. Sebab, secara syar’i, iman berarti
at-tashdiq al-Jazim al-muthabiq li al-waqi ‘an dalil (pembenaran yang pasti, yang bersesuaian dengan fakta dan bersumber dari dalil). Kendati demikian antara iman dan amal terdapat keterkaitan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Selain dalam beberapa ayat di atas, Allah SWT berfirman dalam QS an-Nisa : 59. (silahkan buka al-Qurannya).
Ungkapan in kuntum tu’minuna bi Allah wa al-yawm al-akhir (jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir) menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak ber-tahkim kepada Kitab dan Sunnah tidak terkategori sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Pada ayat berikutnya QS an-Nisa : 60, al-Quran mengecam sikap paradoks orang-orang yang mengaku mengimani al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, tetapi mereka justru ber-tahkim kepada thaghut, yakni hukum selain Islam. Di sinilah letak paradoksnya; bagaimana mungkin orang mengaku beriman pada kitab-kitab Allah SWT, namun ketika memutuskan perkara, mereka tidak mengembalikannya pada kitab Allah SWT, malah justru menggunakan hukum yang tidak bersumber darinya, yakni hukum thaghut ? Bukankah itu berarti terdapat kontradiksi antara ucapan dan kenyataan ? Oleh karena itu, pengakuan akan keimanan mereka pada Kitabullah dianggap sebagai pengakuan palsu. Al-Quran menyebutnya dengan yaz umuna. Menurut al-Layts, kata za’ama digunakan untuk orang yang diragukan, apakah ucapannya dusta atau benar. Menurut Ibnu Durayd, kata za’ama kebanyakan digunakan untuk menyatakan sesuatu yang batil.
Pada ayat selanjutnya QS an-Nisa : 61, al-Quran menyebut karakter orang munafik sebagai orang yang menolak dan menghalangi orang untuk berhukum dengan apa yang Allah SWT turunkan. Kalaupun ada ketentuan syariat yang mereka terima, itu bukan lantaran mereka yakin akan kebenarannya, namun semata-mata karena ketentuan syariat tersebut sejalan dengan kepentingannya (QS an-Nur : 49) (silahkan buka al-Qurannya). Karakter kontradiktif dengan karakter orang Mukmin, Allah SWT berfirman dalam QS an-Nur : 51 (silahkan buka al-Qurannya).
Walhasil, siapa pun anda, jika ingin terkategori sebagai Mukmin sejati, maka menerima dan menerapkan syariat-Nya secara total dalam kehidupan merupakan keniscayaan.

Wallahu a’lam.

Senin, 02 Maret 2009

Promosi Komputer

HOPE 1507 15" LCD display
Place of origin : China
Model No : 1511
Fob Price : US$ 60~100 shenzhen
Port : shenzhen
Payment Terms : L/C,T/T,Western Union
Minimum Order Quantity : 200 Piece/Pieces
Supply Ability : 30000 Piece/Pieces per Month
Package : original package
Delivery Time : within 10 working days
Brand Name : HOPE

Features Specifications: HOPE 1507 15" LCD display

* Panel Size :15"
* Pixel Pitch :0.297*0.297mm
* Brightness :300cd/m²
* Contrast Ratio :500:1
* Horizontal Viewing :120(CR>5)
* Vertical Viewing :110(CR>5)
* Response Time :8(ms)
* Horizontal Frequency(KHz) :30-60(KHz)
* Vertical frequency(Hz) :30-60(KHz)
* Standard Resolution :1024×768
* Signal Input Resolution :RGB
* Connecting :15pin D pattern plug
* Surface Color :black
* Consumption :35(standard)
* Weight Net Weight(Kg) :3
* Compatibility Compatibility :PC/MAC



USB 2.0 Flash Drive
KINGSTON Data Traveler USB Flash Drive,usb 2.0 flash drive, usb memory,flash usb

Capacities - DTI/1GB,DTI/2GB, DTI/4GB, DTI/8GB, DTI/16GB,DTI/32GB,DTI/64GB :

* Dimensions - 2.64" x 0.80" x 0.35" (66.9mm x 20.4mm x 9.0mm)
* Operating Temperature - 0° to 60° C / 32° to 140° F
* Storage Temperature - 20° - 85° C / -4° to 185° F
* Compliant - Designed to Hi-Speed USB 2.0 specifications
* Convenient Pocket - sized for easy transportability
* Simple - Just plug into a USB port
* Practical - Stores cap securely on end of device to prevent loss of cap
* Guaranteed Five-year warranty
* Fashionable - Available in multiple colors by capacity
* Customizable Co-logo program available
* Compatibility Table:


Contoh Gambar USB lainnya :


















Hight Quality 2.0M pixels usb webcam
Delivery Time : 5 Days
Production Capacity 80000 Piece/Pieces per Month
Place of origin: Shenzhen,China
Model No: WT-19
Payment Terms: T/T,Western Union
Minimum Order Quantity: 100 Set/Sets

Features Specifications: Hight Quality 2.0M pixels usb webcam
Camera Lens: VGA Imaging: Digital

Features :
1) 2 mega pixels (1600 x 1200) software supported resolution
2) Smart face track
3) 30 degree scan motion
4) 1/4 HD CMOS VGA sensor
5) 30 (CIF) and 15 (VGA) video stream rate per second
6) 24 bit true color
7) 10x digital zoom
8) Wide angle lens 39V 51H 62D
9) Focal ratio: (F) 2.0
10) Automatic exposure control (light adjustment according to the natural light)
11) Compatible with MSN messenger Yahoo messenger Skype ICQ soft wares
12) Enables video record with DiVX format
13) Built-in microphone (optional)
14) Rotary headgear (in horizontal axis 3600 in vertical axis forward 300 backward 900)
15) White balance and background light correction
16) 8pcs LED (total 12 lux power)
17) Brightness can be adjusted by rheostat on the cable
18) Compatible with notebooks clips system

Software features :
1) English interface and software
2) 2.0 English image software
3) Enables 2 mega pixels photos enable video record with DiVX and serial recording with time setup option
4) Video chat and email
5) 14 different picture effects and 9 different pictures for frames for your pictures
6) Enables capturing images and transforming them into postcards
7) Enables correction of upside down or sideways images
8) VP-EYES picture and image software
9) Minimum system requirements
a) Intel Pentium III 500 processor
b) 128 MB RAM
c) 75MB free disc space
d) Sound card with speakers
e) USB interface
f) CD-ROM
g) Windows 98SE, Me 2000 or XP/Vsta.


Hard drive for computer :
Features Specifications: hard drive for computer
* Mfr part number: WD1600AAJS
* Capacity: 160GB
* Rotational speed: 7,200rpm
* Cache: 8MB
* Interface: SATA 300
* Maximum external transfer rate: 300 MBps
* Seek time:
o Track to track: 2ms
o Average: 8.9ms
o Full stroke: 21ms
* Shock:
o Operating: 65G @ 2ms
o Non-operating: 300G @ 2ms
* Dimensions (W x L x H): 4 x 5.787 x 1.028 inches/101.6 x 147 x 26.1mm
* Weight: 1.32lbs/0.6kg

Sabtu, 28 Februari 2009

MENIMBANG KAIDAH SYARIAT : Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Jalluhu

Pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kaidah yang digali dari nash – nash syariat. Dengan demikian, status kaidah syariat sama dengan hukum syariat yang lain; sama – sama merupakan hukum yang digali dari dalil syariat dan melalui proses iktihad yang shahih. Disebut sebagai kaidah, karena hukum ini mempunyai posisi sebagai panduan umum, yang padanya hukum – hukum derivat ( turunan ) diurai dari kaidah tersebut. Meski demikian, perlu diberi catatan, bahwa kaidah syariat bukanlah dalil syariat dan tidak layak dijadikan sebagai dalil syariat. Yang dilakukan terhadap kaidah syariat adalah menderivasi ( menurunkan ) hukum – hukum cabang, yang notebane merupakan hukum derivat kaidah tersebut. Dari sinilah digunakan istilah tafri’at al – ahkam ( menderivasi hukum ) dan bukan istinbat al – ahkam ( menggali hukum ).
Dilihat dari aspek khitab ( seruan ) – nya, lahir hukum syariat taklifi, seperti wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah; lahir pula hukum syariat wadh’i, seperti azimah, rukhshah, sabab, syarat, mani, sah, fasad dan batal. Dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum, misalnya hukum haram yang disandarkan pada lafal kulli, seperti al – wasilah ila al – haram muharramah, di sini hukum haram ( muharramah ) disandarkan pada lafal al – wasilah ila al – haram, yang notebane merupakan lafal kulli. Hukum yang disandarkan pada lafal kulli seperti ini disebut hukum kulli. Karena itu, kemudian muncul pembagian hukum kulli, ‘am dan khash. Karena panisbatan hukum pada lafal itu mempunyai konsekuensi adanya struktur lafal ( takrib ), sementara yang memenuhi kriteria seperti itu hanya ada dua, yaitu kaidah dan takrif, maka klasifikasi hukum dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kaidah syariat dan takrif syariat. Masing – masing kemudian bisa diklasifikasikan menjadi kaidah dan takrif syariat kulliyah dan ‘ammah.
Meski demikian, semua hukum syariat tersebut baik yang dilihat dari aspek khitab-nya maupun lafal yang menjadi sandarannya tetap merupakan hukum yang harus digali dari dalil – dalil syariat melalui proses ijtihad yang shahih. Jika tidak, hukum tersebut akan kehilangan statusnya sebagai syariat. Karena itu, memahami dalail syariat dan proses penggalian hukum dari dalil tersebut menjadi sangat penting untuk membuktikan bahwa hukum tersebut memang benar – benar merupakan hukum syariat. Sebagai contoh, kaidah Al – ‘ibrah fi al – ‘uqud li al – maqashid wa al - ma’ani wa la al - alfadz ( yang menjadi pijakan akad adalah maksud dan makna bukan lafal dan susunan kata ) jelasbukan merupakan kaidah syariat. Kaidah ini bertentangan dengan fakta akad yang merupakan ijab ( pengajuan ) dan qabul ( penerimaan ) yang notebane masing – masing merupakan tasharruf qawli ( aktivitas timbal balik secara lisan ). Dalam konteks tasharruf ( aktivitas timbal balik ) baik secara lisan ( qawli ) maupun verbal ( fi’il ) tidak diperlukan niat. Ini berbeda dengan amal yang bukan merupakan aksi timbal balik, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Jenis aktivitas ‘amal mengharuskan adanya niat sedangkan jenis aktivitas tasharruf tidak. Contohnya adalah akad. Karena itu, yang menjadi patokan dalam menilai akad bukan terletak pada niat atau maknanya, melainkan lafal dan redaksi akad tersebut. Di sisi lain dijadikannya niat atau maksud sebagai patokan dalam akad itu lebih karena pengaruh filsafat barat, yang mengenal apa yang disebut dengan spirit of law ( ruh hukum ), yang lahir dari tendensi spiritual ( naz’ah ruhiyah ). Inilah ketentuan umum tentang kaidah syariat sebagai bagian dari hukum syariat. Intinya, ia harus digali dari dalil syariat dan melalui ijtihad yang shahih.


Kaidah ini di mata Ulama Fikih dan Ushul Fikih


“ Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya “

Jika kita menganalisis kitab – kitan klasik, baik fikih maupun ushul fikih bisa disimpulkan bahwa kaidah di atas bisa dikatakan jarang dipakai oleh para ulama fikih dan ushul. Kebanyakan ulama fikih dan ushul justru menggunakan kaidah :

“ Perkara yang mudah ( bisa dikerjakan ),
tidak bisa dianggap gugur kewajibannya. Karena
adanya perkara yang sulit ( tidak bisa dikerjakan ) “

Meski kedua kaidah dengan redaksi yang berbeda ini konotasinya sama, sebagaimana kedua – duanya tel;ah digunakan oleh Dr. Muhammad Khayr Haykal dalam disertasi doktoralnya. Al – jihad wa al – Qital fi as – Siyasah as – Syar’iyyah, kaidah kedualah yang lebih populer di kalangan ulama ushul mtaakhir.
Dalam kitab – kitab klasik dan mutaakhir, kita akan menemukan kaidah ini, masing – masing dalam kitab Awn – al – Ma’bud, karya Abu Thayyib dan kitab Abjad al – Ulum, karya Shadiq al – Qanuji ( w. 1307 ) meski keduanya tidak dalam konteks menguraikan kaidah tersebut. Sedangkan kaidah kedua banyak digunakan oleh ulama fikih ushul klasik, antara lain, al – ibhaj karya as – Subki ( w. 756 H ), al – Asybah wa an – Nadha’ir karya as – Suyuthi ( w. 911 H ) dan lai – lain.
Ditilik dari maknanya, keduanya mempunyai persamaan maksud, meski demikian dengan konteks redaksional yang berbeda. Masing – masing menjelaskan hukum melaksanakan kewajiban syariat, bahwa hukum melaksanakan kewajiban adalah wajib, dan kewajiban itu tetap wajib dilaksanakan meski kewajiban itu merupakan perkara yang ma’sur ( sukar ). Sebab, sukarnya kewajiban tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban secara keseluruhan, termasuk yang bisa dilaksanakan ( al – maysur ). Dari sinilah, konteks kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ( apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya )menemukan persamaannya dengan kaidah al – maysur di atas. Artinya, tidak mungkinnya suatu kewajiban untuk dilaksanakan secara keseluruhan tidak berarti semuanya menjadi tidak wajib atau boleh ditinggalkan.Akan tetapi, mana yang mungkin itulah yang harsu dilaksanakan.
Menurut as – Suyuthi, kaidah di atas digali dari Hadis Nabi SAW, yang mengatakan :
“ Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan, tunaikanlah urusan itu sesuai dengan kemampuan kalian, “.
Hanya saja, konteks ma-statha’tum ( sesuai dengan kemampuan kalian), mengindikasikan adanya aqsha al-istitha’ah ( kemampuan yang paling tinggi ) dan bukan semampunya. Misalnya, jika seseorang mempunyai kemampuan 10, maka tidak dikatakan ma’statha’tum, ketika dia menunaikan perintah tersebut hanya dengan kemampuan 8 atau 9. baru ketika dia menunaikannya dengan kemampuan 10, bisa dikatakan bahwa dia telah menunaikan perintah tersebut sesuai dengan kualifikasi ma-statha’tum.


Dari Lingkup Kaidah
Dilihat dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum pelaksanaan kewajiban tersebut, maka baik ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ataupun al – maysur la yasquthu bi al – ma’sur, yang notebane merupakan lafal kulli, bisa disimpulkan bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah kulliyah. Karena itu, kaidah ini meliputi banyak aspek. Bahkan, kaidah ini disebut – sebut oleh ulama ushul sebagai persoalan ushul yang sangat luas, yang nyaris tidak pernah dilupakan. Kaidah ini bisa digunakan dalam konteks ibadah. Misalnya, ketika seseorang dipenjara, sementara didalamnya tidak tersedia air dan juga tidak ada debu yang suci, maka ketika tiba waktunya shalat, orang tersebut tetap wajib menunaikan shalat, meski tanpa wudhu dan tayamum. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu dan tayamum di dalam penjara itu pada dasarnya tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban shalat orang tersebut. Sama dengan ketika seseorang yang baru masuk Islam yang notebane belum menguasai bacaan shalat, mulai dari takbir, al – Fatihah hingga doa – doa yang harus dibaca di dalamnya tidak berarti orang tersebut tidak wajib mengerjakan shalat. Sebaliknya, dia tetap wajib menunaikan kewajiban tersebut, meski untuk itu dia harus di talqin ( dipandu ) oleh orang lain. Kaidah ini juga bisa digunakan dalam konteks lain. Ketika Rasulullah SAW dan kaum Muslim tengah menghadapi pasukan koalisi musuh yang jumlahnya sangat besar dalam Perang Khandak, beliau menyadari bahwa pasukan beliau tidak mampu mengalahkan mereka. Namun, tidak berarti bahwa mereka juga diperbolehkan untuk menyerah kepada pasukan koalisi musuh. Dalam situasi seperti iini, yang mungkin bagi Rasul sebagai panglima perang dan kepala negara Islam ketika itu, adalah melakukan perjanjian damai. Sebab, melakukan perjanjian damai ini masih mungkin dilakukan. Karena itu, kemungkinan ini tetap wajib dilaksanakan. Pada titik inilah kaidah : al – maysur la yusquthu ( perkara yang mudah [ bisa dikerjakan ] tidak bisa dianggap gugur kewajibannya karena adanya perkara yang sulit [ tidak bisa dilakukan ] ), atau kaidah : ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ( yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya) bisa dipraktikkan.
Ini berbeda dengan status perjanijian damai yang dilakukan oleh otoritas Palestina dengan etnis yahudi, yang pernah difatwakan kebolehannya dengan justifikasi kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu. Penggunaan kaidah tersebut dalam konteks seperti ini jelas batil. Alasannya, karena baik otoritas Palestina maupun negeri – negeri Muslim di sekitarnya yang notebane terkena kewajiban berjihad untuk melawan Israel tidak pernah melakukan usaha untuk meraih semuanya, yaitu terbebasnya wilayah Palestina dari cengkraman yahudi dan hilangnya entitas yahudi dari wilayah tersebut. Sejak awal para penguasa tidak pernah mempersoalkan keberadaan entitas yahudi di bumi Palestina. Padahal, inilah masalah utmanya, bukan persoalan perbatasan atau yang lain. Ini merupakan bukti yang nyata, bahwa usaha untuk menyelesaikan krisis Palestina tersebut memang tidak pernah dilakukan dengan sungguh – sungguh. Lalu, bagaimana mungkin bisa dikatakan, ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu...?
Dalam konteks dakwah, kewajiban dakwah ini harus dilakukan secara maksimal ( aqsha al – istitha’ah ), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. setelah dilakukan secara maksimal, ternyata belum berhasil meraih tujuan, yaitu isti’naf al – hayah al - Islamiyyah ( melangsungkan kembali kehidupan Islam ), justru sebaliknya para pengembannya mendapatkan berbagi ujian, baik teror, penyiksaan fisik, eliminasi maupun yang lain, sehingga kewajiban tersebut menjadi stagnan. Karena itu, thalab an – nushrah dalam konteks seperti ini merupakan bagian dari kewajiban yang bisa dilakukan sehingga secara keseluruhan dakwah tetap bisa dilaksanakan. Artinya, thalab an – nushrah dalam konteks seperti ini merupakan perkara yang bisa dilaksanakan ( al – maysur ) makanya harus dilakukan baik untuk melindungi dakwah ( himayah ad – da’wah ) maupun untuk mendapatkan kekuasaan ( istilam al – hukm). Pada titik ini, melakukan thalab an – nushrah, selain merupakan kewajiban, yang dicontohkan oleh Rasul juga merupakan implementasi dari kaidah al – maysur la yusqutu bi al – ma’sur atau kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu. Sebaliknya, berbagai kompromi dengan sistem kufur dan para pengembannya yang dilakukan pada titik kritis seperti ini tetap tidak bisa dijustifikasi dengan kaidah tersebut. Sebab, konteks al – maysur maupun la yutraku jalluhu sama – sama berkaitan dengan sesuatu yang menjadi bagian dari kewajiban yang ditunaikan, atau apa saja yang terkait langsung dengan pelaksanaanya. Sebaliknya, perkara yang justru bertentangan dengan kewajiban tersebut, seperti kompromi dengan sistem kufur dan para pengembannya jelas out of context. Karena itu, tetap tidak bisa dijustifikasi dengan kaidah ini.
Dalam kasus pemilu, Islam memandang bahwa pemilu merupakan perkara yang mubah, dan tidak wajib. Sebab, pemilu merupakan salah satu uslub ( cara ) untuk memilih wakil, dan bukan thariqah ( metode ). Dalil kemubahannya adalah perbuatan RasulSAw, ketika meminta kaum Anshar untuk memilih 12 wakil dari kalangan meeka. Namun, setelah itu Rasul tidak pernah melakukannya lagi. Karena itu, hukum asal pemilu tetap mubah. Jika kemubahan ini terkait langsung dengan pelaksanaan kewajiban, yaitu melakukan perubahan sistem, dari sistem kufur menjadi sistem Islam, maka konteks kaidah al – maysur la yasquthu bi al – ma’sur atau kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu bisa digunakan. Sebaliknya, jika kemubahan ini terkait langsung atau bahkan bertentangan dengan kewajiban yang hendak ditegakkan maka kaidah tersebut jelas tidak bisa digunakan.
Dari paparan di atas bisa disimpulkan, bahwa kaidah “ ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu “ adalah kaidah kulliyah, yang bisa digunakan dalam berbagai konteks ditunaikannya kewajiban. Hanya saja, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan :
a. Konteks ma la yudraku kulluhu bisa dilakukan jika memang ada usaha yang dilakukan secara sungguh – sungguh untuk meraih seluruh kewajiban yang diperintahkan. Sebaliknya jika tidak ada usaha untuk meraih kewajiban yang diperinyahkan denagn sungguh – sungguh maka tidak bisa digunakan.
b. Konteks “ tidak bisa meraih semuanya “ adalah meraih semua kewajiban, misalnya ada satu kewajiban yang memiliki 10 poin, namun dalam pelaksanaannya karena berbagai kesulitan yang ada ke – 10 poin tersebut tidak bisa diraih semuanya, maka tidak berarti semuanya harus ditinggalkan. Yang bisa diraih itulah yang harus dilaksanakan. Inilah yang dimaksud dengan la yutraku jalluhu atau al – maysur. Karena itu, konteks “ yang bisa dilaksanakan “ merupakan bagian dari konteks “ yang tidak bisa dilaksanakan “ yaitu sama – sama merupakan perkara yang asalnya diwajibkan. Itu artinya, apa yang berada di luar konteks kewajiban tersebut tidak bisa dimasukkan dalam konteks ini.
c. Batasan ma la yudraku kulluhu atau al – ma’sur itu bisa ditentukan setelah kewajiban tersebut dilakukan. Sebelum kewajiban tersebut dilakukan tentu tidak bisa dikatakan tidak mungkin dan tidak bisa dilaksanakan. Ikhtiar untuk melaksanakannya pun harus maksimal, tidak boleh setengah – setengah. Dengan kata lain, harus aqsha al – wus’i ( potensi paling tinggi ) atau aqsha al – istitha’ah ( kemampuan paling tinggi ). Jika mempunyai potensi atau kemampuan 10, maka harus diberikan 10 untuk menunaikan kewajiban tersebut, sehingga baru layak disebut aqsha al – wus’i atau aqsha al – istitha’ah. Jika kemampuan 10 tapi yang diberikan hanya 5, 8 atau 9,5 maka dalam hal ini belum layak disebut aqsha al – wus’i atau aqsha al – istitha’ah. Setelah memberikan 10 ternyata masih belum bisa menjangkau pelaksanaan seluruh kewajiban tersebut, maka mana di antara kewajiban tersebut yang bisa dijangkau itulah yang harus dilakukan.
Inilah beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menggunakan kaidah ma la yudraku kulluhu tersebut.
Wallahu a’lam bi ash – shawab.


Daftar pustaka :

1. Ali Raghib, Ahkam as –Shalah, Dar an – Nadhah al – Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1991, hlm. 8.

2. An – Nabhani, as - Syakhshiyyah al – Islamiyyah, juz III, hlm. 445.

3. Muhammad Khayr Haykal, al – jihad wa al – Qital fi as – Siyasah as – Syar’iyyah, Dar al – Bayariq, Beirut, cet II, 1996, juz I, hlm. 735.

4. Abu Thayyib, ‘Awn al – Ma’bud, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1415, juz X, hlm. 233.

5. Shadiq al – Qanuji, Abjad al – ‘Ulum, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, 1978, juz III, hlm. 267.

6. Abd al – Kafi as – Subki, al – Ibhaj, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1404, juz I, hlm. 118.

7. As – Suyuthi, al – Asybah wa an – Nadha’ir, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1403, hlm. 159.

8. HR al – Bukhari dan Muslim, Lihat : al – Asqalani, Fath al – Bari, Dar al – Ma’rifah, Beirut, 1379, juz XIII, hlm. 261; as – Suyuthi, al – Asybah, hlm. 159.

9. As – Suyuthi, al – Asybah, hlm. 159; al – Hadhrami, Idhah al – Qawa’id, al – Haramayn li at – thiba’ah, t.t., hlm. 91.


Rabu, 25 Februari 2009

MENJUAL AYAT – AYAT ALLOH SWT



Tafsir Surat at – Taubah [9] – 9

“ Mereka menukarkan ayat – ayat Alloh dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi ( manusia ) dari jalan Alloh. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.


Makna Umum

Surat at – Taubah ayat 9 ini merupakan gambaran kaum musyrik, yang biasa menukarkan ayat – ayat Alloh SWT dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat – ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka. Sekalipun objek ayat ini adalah kaum musyrik, adanya penyifatan “ Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan, “ menunjukkan bahwa siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan yang paling buruk, yang tentu saja diharamkan.
Keharaman menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah ini ditegaskan oleh qara’in ( indikasi – indikasi ) dalam banyak ayat. Di antaranya, mereka yang melakukan hal tersebut berarti melakukan perbuatan amat buruk ( QS Ali Imran [3] : 187 dan at – Taubah [9] : 9); mereka celaka ( QS al – Baqarah [2] : 79); membeli kesesatan dengan petunjuk; membeli siksa dengan ampunan ( QS al – Baqarah [2] : 174 – 175 ). Semua ini secara tegas menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Lebih jauh, pengertian menjual ayat – ayat Alloh SWT dengan harga murah ini dijelaskan dalam ayat – ayat lain.
Pertama, menulis al – Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu menyatakan, “ ini dari Alloh, “ padahal bukan. ( Lihat QS al – Baqarah [2] : 79 ). Mereka memutar – mutar lidahnya membaca al – Kitab dan membuat – buat legalisasi seakan apa yang diungkapkannya adalah wahyu, padahal itu berasal dari logika mereka sendiri ( QS Ali Imran [3] : 77 – 88 ).
Kedua, menyembunyikan ayat Alloh. ( Lihat QS al – Baqarah [2] : 174 – 175 ). Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk, membeli siksa dengan ampunan. Alloh mengambil janji untuk menerangkan isi Kitab dan tidak menyembunyikannya. Akan tetapi, mereka melemparkan janji itu dan menukarkannya dengan harga sedikit. ( QS Ali Imran [3] : 187 ).
Ketiga, orang – orang yang beriman kepada Alloh dan pada wahyu yang diturunkan kepada para nabi apa adanya, mereka itu orang yang tidak menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah. Mereka tidak terpedaya oleh kelancaran dan kemajuan dalam perdagangan dan perusahaan orang kafir. Artinya, perbuatan tidak mengimaninya merupakan tindakan menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah ( Lihat QS Ali Imran [3] : 196 – 199 ).
Keempat, tidak menghukumi setiap perkara dengan ayat – ayat Alloh SWT dan menggantinya dengan yang lain karena takut kepada manusia. ( Lihat QS al – Maidah [5] : 44 ). Penyebab sebenarnya orang yang menukar ayat Alloh dengan harga murah adalah :
(1) lebih takut kepada manusia daripada kepada Alloh SWT ( Lihat QS al – Maidah [5] : 44 );
(2) untuk kepentingan orang lain ( Lihat QS al – Maidah [5] : 106 ); dan puncaknya
(3) untuk menghalang – halangi manusia dari jalan Alloh SWT ( Lihat QS at – Taubah [9] : 9 ). Walhasil, semuanya ditujukan semata – mata untuk kepentingan dunia.
Larangan menjual atau menukarkan ayat – ayat Alloh SWT dengan harga sedikit tidak bisa dipahami sebagai ‘ kalau harganya mahal adalah boleh ‘. Sebab, sekalipun perbuatannya itu dihargai dengan seluruh dunia dan segala isinya, semua itu tetap sedikit. Dunia dengan segala kesenangannya hanyalah seonggok perhiasaan yang penuh tipuan.. apa yang ada di dunia akan lenyap sementara apa yang ada pada sisi Alloh kekal ( QS an – Nahl [16] : 96 ). Dunia tidak ada artinya apa – apa jika dibandingkan dengan ampunan dan ridha Alloh SWT yang salah satu wujudnya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi ( QS Ali Imram [3] : 133 ). Kunci agar seseorang tidak terjerumus ke dalam tindakan menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah adalah betul – betul bertaqwa kepada Alloh SWT. ( QS al – Baqarah [2] : 41 ).

Pendapat Para Ahli Tafsir

Pengertian surat at – Taubah [9] : 9 ini akan lebih dapat dipahami dengan menyandingkannya dengan ayat berikut (QS al – Baqarah [2] : 41 ) : silahkan buka al – Qurannya.

1. Tafsir Jalalain’

QS at – Taubah [9] : 9 :
Mereka menjual ayat – ayat Alloh, al – Quran, dengan harga murah, berupa dunia ini. Artinya, mereka meninggalkan mengikuti ayat – ayat tersebut demi keinginan dan hawa nafsu. Lalu, mereka menghalan – halangi manusia dari jalan Alloh, din – Nya. Sesungguhnya itu adalah seburuk – buruk apa yang mereka lakukan.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Berimanlah pada apa yang Aku turunkan, yakni al – Quran, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, yaitu Taurat, karena kesesuaian al – Quran tersebut dengan Taurat dalam hal tauhid dan kenabian. Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir padanya dari kalangan Ahlul Kitab, karena orang – orang sesudah kalian yang mengikuti kalian maka dosa mereka akan menimpa kalian. Janganlah kalian menjual – yakni mengganti ayat – ayat – Ku yang terdapat dalam kitab kalian berupa sifat Nabi Muhammad SAW., dengan harga yang sedikit, yaitu dengan perhiasan dunia yang sangat kecil. Artinya, janganlah kalian menyembunyikan ayat – ayat tersebut karena takut kehilangan apa yang kalian ambil dari kalangan bawah kalian. Hanya kepada Akulah kalian harus bertaqwa, yakni takutlah hanya kepada – Ku dalam hal tersebut, bukan pada yang lain.

2. Tafsir al – Qurthubi
QS at – Taubah [9] : 9 : Mereka mengganti ayat – ayat Alloh, al – Quran, demi perhiasan dunia. Lalu mereka menghalang – halangi manusia dari jalan Alloh. Mereka menjual ayat – ayat dengan harga murah, artinya, Yahudi menjual hujah – hujah Alloh dan penjelasan – Nya demi mendapatkan kepemimpinan ( riyasah ) dan mendapatkan banyak materi. Mereka itulah orang – orang yang melampaui batas, maksudnya melampaui halal – haram, dengan memutuskan perjanjian.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Kalimat janganlah kalian menjual ( wa la tasytaru ) merupakan ma’thuf bagi kalimat dan janganlah kalian menjadi orang kafir pertama ( wa la takunu... ) Dia melarang mereka kafir dan mengambil harga atas ayat – ayat Alloh, yakni dengan mengubah sifat – sifat Muhammad SAW. Dulu para pendeta melakukan hal tersebut, maka mereka dilarang melakukannya. Ada juga yang mengatakan “ Janganlah kalian menjual....., “ artinya, Janganlah kalian menjual perintah – perintah – Ku, dan ayat – ayat – Ku dengan harga yang kecil; yakni dunia, keluasannya dan kehidupannya yang memang sedikit ( nazrun ) karena bahaya yang dikandungnya. Apa yang mereka tukarkan tersebut disebut harga ( tsaman ) karena mereka menjadikannya sebagai imbalan ( iwadh ). Karena itu, istilah harga diterapkan padanya sekalipun sebenarnya bukanlah harga. Sekalipun ayat ini khusus bagi bani Israil, ayat ini mencakup siapapun yang mengerjakan perbuatan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengambil sogokan ( risywah ) untuk mengubah kebenaran, menyatakan batil suatu kebenaran, menolak mengajarkan apa yang wajib dia ajarkan, menolak melakukan apa yang ia ketahui, ia masuk kedalam topik ayat tersebut. Wallahu a’alam.

3. Tafsir Ath – Thabari
QS at – Taubah [9] : 9 : Alloh, Zat Yang Maha Gagah Lagi Maha Terpuji, menyatakan bahwa mereka ( orang – orang musyrik ) yang Alloh menyuruh kalian, wahai kaum mukmin, untuk membunuh mereka dimana pun kalian temui mereka, karena mereka tidak mengikuti apa yang dihujahkan oleh Alloh SWT atas mereka – menjual hujah – hujah yang jelas dengan imbalan yang sedikit dari perhiasan dunia ini. Mereka adalah orang – orang yang memutuskan perjanjian dengan Rasul SAW. adapun pernyataan., “ Alau mereka menghalang – halangi manusia dari jalan Alloh, “ maknanya adalah, “ mereka menghalangi masyarakat masuk ke dalam Islam dan berupaya mengembalikan kaum Muslim dari agama mereka tersebut. “ Dalam kalimat, “ sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu, “ Alloh, Zat Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji menyatakan bahwa mereka kaum musyrik yang sifat – sifatnya telah dijelaskan itu amatlah buruk perbuatannya, yaitu perbuatan mereka membeli kekufuran dengan iman dan membeli kesesatan dengan petunjuk serta menghalang – halangi orang – orang yang beriman kepada Alloh dan Rasul – Nya itu dan orang – orang yang hendak menjadi beriman.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Abu ‘Aliyah mengatakan, makna kalimat, “ Janganlah kalian menjual ayat – ayat – Ku dengan harga sedikit, “ adalah, “ Janganlah kalian mengambil upah atas ayat – ayat tersebut. “ Sementara itu, As – Sudaymenyebutkan makna ‘ harga sedikit ‘ adalah, “ Janganlah kalian mengambil harga ( tham’an, tsaman ) sedikit dengan menyembunyikan nama Alloh. Jadi, takwil dari ayat tersebut adalah janganlah kalian menjual ilmu yang telah Aku berikan kepada kalian dalam kitab – Ku dan ayat – ayat – Ku dengan harga yang sangat murah dan perhiasan dunia yang sedikit. Penjualan mereka seperti itu berarti mereka meninggalkan keterangan yang ada dalam kitab mereka tentang Nabi Muhammad SAW bagi masyarakat, padahal di dalam kitab itu disebutkan bahwa beliau adalah nabi yang ummi, baik dalam Taurat maupun Injil. Penjualan dilakukan dengan harga murah, yaitu berupa kesukaan mereka untuk mendapatkan kepemimpinan dari golongan dan agama mereka, dan mereka pun mendapatkan imbalan atas apa yang mereka jelaskan kepada masyarakat itu.

4. Tafsir Ibnu Katsir
QS at – Taubah [9] : 9 : Alloh, Zat Yang Maha Tinggi, berfirman sebagai celaan terhadap kaum musyrikin dan anjuran bagi kaum Mukmin untuk memerangi mereka: “ Mereka menjual ayat – ayat Alloh dengan harga sedikit, “ Artinya, mereka menolak mengikuti ayat – ayat Alloh karena digelincirkan oleh urusan – urusan dunia yang rendah. “ Lalu mereka menghalang – halangi dari jalan – Nya, “ yakni mereka menghalangi kaum Mukmin untuk mengikuti kebenaran ( Al – Haq ). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Adapun pernyataan, “ Janganlah kalian menjual ayat – ayat Alloh dengan harga sedikit, “ artinya janganlah kalian menukar keimanan kepada ayat – ayat – Ku dan pembenaran atas Rasul – Ku ini dengan dunia dan segala daya tariknya. Sebab, semua itu sedikit lagi fana. Sebagaimana yang disebutkan oleh al – Hasan al – Bashri, ‘ harga sedikit ‘ maknanya adalah dunia dan segala isinya, sedangkan menurut Sa’ad bin Jubair, ‘ dunia dan segala daya tariknya’. Berkenaan dengan firman Alloh, “ Hanya kepada – Ku – lah hendaknya kalian bertaqwa, “ arti taqwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Alloh dengan mengharap rahmat Alloh di atas cahaya Alloh serta meninggalkan kemaksiatan kepada – Nya di atas cahaya – Nya karena takut akan siksaan – Nya. Kalimat tersebut juga berarti bahwa Alloh SWT mengancam mereka atas kesengajaan mereka menyembunyikan kebenaran dan memunculkan hal – hal yang bertentangan dengan kebenaran tersebut serta menyalahi Rasulullah SAW.

Renungan
Pengalaman menunjukkan bahwa pada saat – saat pemilihan umum ( Pemilu ) sering ayat – ayat al – Quran disajikan. Jika penyajian tersebut dalam rangka menjelaskan hukum dan upaya untuk memperjuangkannya untuk diterapkan di tengah kehidupan, maka hal tersebut merupakan tuntutan Islam. Akan tetapi, sayangnya, banyak ayat – ayat tersebut sekedar untuk meraih dukungan, disajikan dalam konteks perolehan suara, dan setelah itu selesailah sudah.
Keluarlah ayat bahwa kalimat yang baik laksana pohon yang baik ( seperti disitir dalam QS Ibrahim [14] : 24 ) untuk mempromosikan lambang partainya yang berbentuk pohon. Diungkaplah pernyataan umat Nabi Musa as dalam QS al – Maidah [5] : 24, “ Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah kalian berdua, kami di sini cukup duduk saja, “ untuk melegalisasi keikut sertaan dalam sistem kufur dan menyindir orang yang tidak mau terlibat dalam sistem tersebut ( GOLPUT). Juga, dieksploitasilah ayat – ayat syura ( seperti dalam QS Ali Imran [3] : 159 dan QS asy – Syura [42] : 38 ) dengan menyatakan bahwa syura adalah demokrasi – dalam rangka melegalkan sistem demokrasi dan meraih dukungan bagi partainya. Banyak lagi ayat – ayat al – Quran yang bertebaran saat Pemilu, yang sayangnya jauh dari pengertian sesungguhnya dan tampak dipaksakan hanya sekedar untuk meraih dukungan.
Wahai kaum Muslim, waspadalah, jangan sampai terjerumus pada kategori, “ menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! “




Daftar pustaka:
1. Al – Alamah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al – Mahalliy dan Asy Syaikh al – Mutabahhir Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as – Suyuthi, Tafsir Jalalain. t.t.. Dar al – Hadist, Kairo. Jilid 1, hlm. 241.
2. Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al – Qurthubiy Abu Abdillah, Tafsir al – Qurthubi, 1372 H. Dar asy – Sya’bi, Kairo. Jilid 8, hlm. 80 dan Juz I, hlm. 334 – 335.
3. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid ath – Thabari Abu Ja’far, Tafsir ath – Thabari. 1405 H. Dar al Fikr, Beirut. Jilid 10, hlm. 86 dan Jilid I, hlm. 253.
4. Isma’il bin Umar bin Katsir ad – Dimsyaqi Abu Fida, Tafsir Ibnu Katsir. 1401 H. Dar al Fikr, Beirut. Jilid IV, hlm. 341 dan Jilid I, hlm. 107 – 108.

Senin, 23 Februari 2009

PARPOL ISLAM, MINUS PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM



Apa kabar parpol Islam menjelang Pemilu 2009...? Apa yang mereka lakukan untuk menghadapi pertarungan politik di kancah Pemilu 2009...? Masihkah ambigu terhadap gagasan penerapan syariat Islam. Ya wajar saja, karena mereka menjadikan Islam sebagai tameng untuk meraup suara. Lalu bagaimana “ prestasi “ parpol Islam setelah mereka berkiprah sejak Pemilu lalu hingga sekarang...? Mungkin terlalu dini menilai prestasi parpol Islam di pentas politik nasional. Keberadaan mereka juga masih amat belia. Seperti kata pengamat politik Muslim al – Chaidar, kelahiran reformasi dan parpol Islam pada tahun 1998 lalu terbilang prematur. Boleh jadi demikian, meski ada juga parpol Islam yang telah memiliki basis massa yang kental sejak era Orde Baru. Namun demikian, bukan bersrti indeks prestasi parpol Islam sama sekali tidak bisa diukur. Mengingat jangka waktu dari Pemilu lalu hingga Pemilu 2009 memiliki rentang waktu yang lumayan memadai bagi parpol Islam untuk berkiprah. Ada dua hal yang mungkin bisa menjadi parameter prestasi parpol Islam. Pertama, masihkah parpol Islam dipercaya publik untuk menjadi saluran aspirasi, entitas dan alat perjuangan umat. Kedua, menyangkut gagasan dan ideologi partai; apakah parpol – parpol Islam tersebut berani menampakkan “ benang merah “ misi mereka; menegakkan syariat Islam dan mengusung gagasan Negara Islam...? Dua hal ini sama – sama penting dan saling berkelindan. Dukungan publik menunjukkan tingkat akuntabilitas sebuah parpol di mata khalayak. Jika publik melihat parpol Islam bisa membawa aspirasi mereka, bersikap kritis terhadap kebijakan rezim penguasa yang merugikan hajat hidup rakyat banyak – dan bukan sekedar janji – maka parpol Islam akan menjadi tumpuan harapan umat. Sementara itu, yang kedua – penegakkan syariat dan gagasan Negara Islam – berkaitan dengan integritas parpol tersebut pada ideologi mereka. Apakah asa Islam melekat secara inheren dengan parpol tersebut ( bukan cuma artifisial yang tampak pada perilaku individual para politisinya – misalnya berjenggot, berjilbab, berkoko – tetapi juga tampak pada program, agenda setting politik dan platform perjuangan mereka ). Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi parpol – parpol Islam – baik yang berkiprah pada kancah Pemilu 2009 ataupun yang bergerak ekstraparlementer, tetapi bertujuan untuk memberikan “ peringatan dini “ sekaligus sebagai input yang mudah – mudahan berharga bagi mereka.

Terjebak Pola Lama
Eep Saefullah Fatah, pengamat politik dari LIPI, memberikan sejumlah kritik pada kalangan Islam termasuk parpolnya. Salah satu kritiknya adalah kalangan Islam lebih senang membuat kereumunan ketimbang barisan. Kerumunan, menurutnya bisa saja terdiri dari banyak orang namun sangat rentan karena tidak memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan dan rencana – renca aksi yang dikonsensuskan diantara mereka. Sebaliknya, barisan, sekalipun beranggotakan sedikit, merupakan sebuah kekuatan yang tangguh karena memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan dan rencana – rencana aksi ( Eep Seafullah Fatah, Zaman Kesempatan, h. 260 ). Fenomena ini mudah terlihat. Parpol – parpol Islam peserta Pemilu baru mulai bekerja pada tahapan menjaring pemilih, bukan membangunnya. Mereka baru bergerak menjelang Pemilu – menggalang aneka dukungan; melalukan aksi – aksi sosial, pertemuan partai dengan kalangan umum,; melakukan kontak – kontak politik dengan tokoh – totkoh masyarakat – dan dilakukan intens ( hanya ) menjelang Pemilu. Seolah tidak belajar dari pengalaman, pola tradisional ini masih dipertahankan oleh parpol – parpol Islam. Memang, jika pola ini dikombinasikan dengan memanfaatkan kharisma public figure sebagai votegetter maka efektif untuk menarik pemilih. Akan tetapi, massa yang terbangun dengan cara ini bukanlah massa yang “ sadar “. Massa yang paham dan menjiwai platform partai dan setia memberikan dukungan. Massa yang akan diperoleh parpol Islam dari pola tradisional itu hanyalah kerumunan ( agregat ), floating mass, massa mengambang. Mereka akan berkerumun saat Pemilu tetapi, kemudian rentan untuk menyublim sesudahnya. Ambisi mendulang suara yang berlimpah pada Pemilu dengan pola tradisional akhirnya mengorbankan integritas parpol bersangkutan. Publik yang secara umum masih phobi terhadap Islam akibat trauma politik mas alalu dan juga “ pelintiran “ atas pemikiran Islam oleh Barat ( Ghazwul fikri ) memberikan semacam perasaan “ tidak nyaman “ ( mungkin juga ketakuta ) bagi parpol Islam untuk mengkampanyekan syariat Islam apalagi Negara Islam. Daripada kehilangan pemilih lebih baik mencairkan ideologi partai, begitu pikir mereka. Kondisi inilah yang mungkin menjadi semacam “ keterpaksaan “ bagi parpol Islam sehingga mereka bersikap ambigu terhadap upaya penegakkan syariat Islam dan gagasan Negara Islam. Parpol Islam bisa jadi memilih menjadi parpol yang populer dan populis secepat – cepatnya. Walaupun harus kehilangan taji ideologisnya. Karena itu, tiga kali even Pemilu nyaris sepi dari kampanye penegakkan syariat oleh parpol Islam. Kalangan Islam baru membangun kepercayaan publik lewat jargon – jargon dan slogan – slogan yang terlalu umum, yang kurang mencerminkan karakter dari sebuah parpol Islam yang mengusung ideologi Islam; nyaris tidak ada bedanya dengan parpol – parpol lain pada umumnya. Gejala ini tidak saja khusus menimpa parpol kontestan Pemilu. Parpol Islam atau kelompok dakwah manapun bisa terjebak pada pola ini walau mereka bergerak secara ekstraparlementer. Ini terjadi jika mereka lebih mengejar target kuatitas ketimbang kualitas pendukung. Karena merasa berpacu dengan waktu, parpol Islam akan mematok target kuatitas rekrutmen pendukung sebanyak – banyaknya dengan mengabaikan pembinaan. Memang, dalam hitungan politis, lebih mudah membangun kerumunan ketimbang barisan. Energi, biaya dan waktu yang diperlukan jauh lebih kecil meski dengan hasil tidak maksimal. Daripada mengorbankan ideologi partai dan hanya mendapatkan massa mengambang, seharusnya parpol – parpol Islam mencari pendekatan lain untuk menggalang dukungan. Untuk itu, tidak ada strategi lain kecuali melakukan pembinaan politik kepada publik. Program pencerdasan umat dengan pemikiran – pemikiran Islam jauh lebih berdaya guna ketimbang kegiatan – kegiatan ekstravaganza macam show of force yang kerap mereka lakukan. Pamer kekuatan semacam itu memang menyenangkan, karena menjadi konsumsi publik dan media massa. Akan tetapi bisa membuat lupa diri bahwa parpol Islam seharusnya melakukan gerakan ideologis, bukan cuma gerakan massal. Untuk itu, parpol harus bisa membangun kepercayaan publik pada Islam; mengarahkan visi hidup mereka dan menjelaskan tujuan perjuangan parpol yaitu penegakkan syariat Islam dalam naungan negara. Aktivitas ini tidak cukup hanya dengan kegiatan rutin sekali dalam lima tahun, apalagi hanya menjelang Pemilu, tetapi harus kontinu, teragendakan dan memiliki sasaran yang jelas.

Platform Buram


Kritik lain yang dilontarkan Eep pada kalangan Islam adalah kenyataan kalangan Islam lebih suka mengurusi kulit daripada isi. Soal – soal substantif kerap justru luput dari perhatian kalangan Islam, sementara pada saat yang sama, soal – soal artifisial justru diurusi ( Eep Saefullah Fatah, ibid., h. 257 ). Sebagai contoh, pada kasus RUU sisdiknas kalangan Islam lebih mempersoalkan pasal pendidikan agama yang dikhawatirkan mengundang pemurtadan. Akan tetapi, substansi dari RUU Sisdiknas itu sendiri sebagai produk sistem kapitalis – sekular nyaris tak terjamah. Buktinya demo – demo itu berhenti saat RUU tersebutditunda pengesahannya. Padahal, di sekolah - sekolah di Tanah Air mulai dari tingkat elementer hingga perguruan tinggi – aneka pemikiran kufur bertebaran dan dipelajari anak – anak kaum Muslim. Begitu pula masalah otonomi kampus yang menyebabkan bengkaknya biaya pendidikan atau “ jalur khusus “ di PTN – PTN yang melahirkan “ anak emas “ juga sepi dari perhatian dan kekritisan kalangan Islam. Karena itu, Eep menyarankan agar kalangan Islam mendukung reformasi sistematik; perubahan yang meyeluruh, bukan parsial; perubahan yang substansial, bukan artifisial.
Hanya saja, transformasi politik – sosial – ekonomi yang seharusnya dilakukan umat berpulang pada platform parpol Islam itu sendiri. Apakah parpol – parpol Islam telah memiliki platform yang jelas, visi dan misi perubahan yang jernih ataukah buram...? Tentu saja di dalamnya harus secara iheren terbangun sistem Islam yang akan dituju. Akan tetapi, jika parpol Islam sendiri sudah menutup diri dari penegakkan syariat, bagaimana mungkin transformasi menuju masyarakat yang ideal bisa terwujud. Cukup ironis mengingat masih ada kalangan Islam – termasuk parpol Islam – yang memandang skeptis syariat Islam sebagai problem solving masalah – masalah kemanusiaan. Para politisi Muslim lebih senang dimabuk ide “ civil society “ dan “ demokrasi Islam “ ketimbang Khilafah Islamiyah. Bahkan tidak sedikit politisi Muslim yang dengan sinis menyebut kampanye penegakkan Khilafah sebagai “ nostalgia “ atau “ romantisme historis “. Ada juga yang enggan menyuarakan gagasan Khilafah hanya karena istilah itu masih asing di telinga khalayak. Jika gagasan penegakkan syariat Islam dan Khilafah tertolak, lantas bentuk transformasi apa yang hendak ditawarkan oleh parpol – parpol Islam...? Sebab, civil society ataupun demokrasi Islam yang kini didengang – dengungkan baru sebatas tataran wacana, belum menjadi konsep utuh. Bahkan ia belum pernah menjadi sejarah ( ahistoris )...! Jika upaya penegakkan Khilafah dianggap romantisme sejarah, lalu apa sebutan yang pas bagi perjuangan sebuah gagasan yang masih absurd...? Jangankan demokrasi Islam, ajaran demokrasi sendiri hingga kini masih terus mengalami dialetika. W.B. Gallie beberapa tahun silam pernah mengatakan, “ Demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan, “ Ia menandaskan, “ Ada beberapa perselisihan pandangan yang menyangkut konsep – konsep semacam itu. “ ( John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di negara – negara Muslim). Lebih jauh lagi, Esposito dalam bukunya mengatakan bahwa bagi Barat, konsep “ Demokrasi Islam “ sesungguhnya sebuah anatema (Esposito, ibid.). Pemikir Barat lain, Giovanni Sartori, mengatakan, “ Ketika kita menerapkan konsep demokrasi pada kebanyakan negara Dunia Ketiga, terutama yang disebut negara – negara berkembang, standarnya menjadi lebih rendah sehingga orang mungkin akan sangsi apakah konsep demokrasi masih layak dipakai...? Demokrasi menurut Woodrow Wilson, merupakan bentuk pemerintaha yang paling sulit. “ ( Esposito, ibid.). Jika demokrasi saja sudah sedemikian sulit bahkan absurd, bagaimana lagi konsep “ demokrasi Islam “...? Jangan – jangan ia seperti menegakkan benang basah...? Kenyataanya, belum ada satu negeri Islam pun yang sukses dengan demokrasi Islam.


Akibat Mainstream Politik
Hal lain yang mungkin menyebabkan parpol Islam bersikap ambigu terhadap upya penegakkan syariat adalah mainstream politik yang mereka ikuti. Di negeri – negeri Muslim, keikutsertaan parpol Islam dalam ajang Pemilu selalu disyaratkan mematuhi mainstream politik yang eksis warisan negera – negara kafir imperialis. Sebagian kalangan Islam berdalih dengan kaidah syariat, “ Ma la yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu ( Apa yang tidak bisa diambil seluruhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya). “ dengan kaidah ini, sebagian kalangan Islam melegalkan sikap koperatif dengan mainstream politik yang ada. Dampaknya jelas terasa, yakni munculnya deviasi terhadap terhadap visi dan misi perjuangan parpol itu sendiri. Ketidakkonsistenan politik atau ambiguitas itu, yang paling terasa, adalah saat isu presiden wanita menjelangperhelatan Pemilu lalu, dengan sasaran tembak PDI – P dan Megawati. Para khatib, ustadz, mualim terlepas dari kontituen parpolnya – menyerukan keharaman mengangkat wanita sebagai kepala negara / presiden. Namun, seperti menjilat ludah sendiri, ketika Gusdur sebagai RI – 1 menimbulkan banyak krisis, sebagian politisi Muslim pada parpol Islam justru melegalkan ( atau setidaknya membiarkan ) Megawati naik tampuk kepresidenan. Orang pun bisa menebak bahwa nuansa politis berada di balik keputusan tersebut. Tragis memang, Marilah kita renungi : QS 6 : 153.
Silahkan buka Al – Qurannya.