IKLAN

Free Website Hosting

Sabtu, 28 Februari 2009

MENIMBANG KAIDAH SYARIAT : Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Jalluhu

Pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kaidah yang digali dari nash – nash syariat. Dengan demikian, status kaidah syariat sama dengan hukum syariat yang lain; sama – sama merupakan hukum yang digali dari dalil syariat dan melalui proses iktihad yang shahih. Disebut sebagai kaidah, karena hukum ini mempunyai posisi sebagai panduan umum, yang padanya hukum – hukum derivat ( turunan ) diurai dari kaidah tersebut. Meski demikian, perlu diberi catatan, bahwa kaidah syariat bukanlah dalil syariat dan tidak layak dijadikan sebagai dalil syariat. Yang dilakukan terhadap kaidah syariat adalah menderivasi ( menurunkan ) hukum – hukum cabang, yang notebane merupakan hukum derivat kaidah tersebut. Dari sinilah digunakan istilah tafri’at al – ahkam ( menderivasi hukum ) dan bukan istinbat al – ahkam ( menggali hukum ).
Dilihat dari aspek khitab ( seruan ) – nya, lahir hukum syariat taklifi, seperti wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah; lahir pula hukum syariat wadh’i, seperti azimah, rukhshah, sabab, syarat, mani, sah, fasad dan batal. Dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum, misalnya hukum haram yang disandarkan pada lafal kulli, seperti al – wasilah ila al – haram muharramah, di sini hukum haram ( muharramah ) disandarkan pada lafal al – wasilah ila al – haram, yang notebane merupakan lafal kulli. Hukum yang disandarkan pada lafal kulli seperti ini disebut hukum kulli. Karena itu, kemudian muncul pembagian hukum kulli, ‘am dan khash. Karena panisbatan hukum pada lafal itu mempunyai konsekuensi adanya struktur lafal ( takrib ), sementara yang memenuhi kriteria seperti itu hanya ada dua, yaitu kaidah dan takrif, maka klasifikasi hukum dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kaidah syariat dan takrif syariat. Masing – masing kemudian bisa diklasifikasikan menjadi kaidah dan takrif syariat kulliyah dan ‘ammah.
Meski demikian, semua hukum syariat tersebut baik yang dilihat dari aspek khitab-nya maupun lafal yang menjadi sandarannya tetap merupakan hukum yang harus digali dari dalil – dalil syariat melalui proses ijtihad yang shahih. Jika tidak, hukum tersebut akan kehilangan statusnya sebagai syariat. Karena itu, memahami dalail syariat dan proses penggalian hukum dari dalil tersebut menjadi sangat penting untuk membuktikan bahwa hukum tersebut memang benar – benar merupakan hukum syariat. Sebagai contoh, kaidah Al – ‘ibrah fi al – ‘uqud li al – maqashid wa al - ma’ani wa la al - alfadz ( yang menjadi pijakan akad adalah maksud dan makna bukan lafal dan susunan kata ) jelasbukan merupakan kaidah syariat. Kaidah ini bertentangan dengan fakta akad yang merupakan ijab ( pengajuan ) dan qabul ( penerimaan ) yang notebane masing – masing merupakan tasharruf qawli ( aktivitas timbal balik secara lisan ). Dalam konteks tasharruf ( aktivitas timbal balik ) baik secara lisan ( qawli ) maupun verbal ( fi’il ) tidak diperlukan niat. Ini berbeda dengan amal yang bukan merupakan aksi timbal balik, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Jenis aktivitas ‘amal mengharuskan adanya niat sedangkan jenis aktivitas tasharruf tidak. Contohnya adalah akad. Karena itu, yang menjadi patokan dalam menilai akad bukan terletak pada niat atau maknanya, melainkan lafal dan redaksi akad tersebut. Di sisi lain dijadikannya niat atau maksud sebagai patokan dalam akad itu lebih karena pengaruh filsafat barat, yang mengenal apa yang disebut dengan spirit of law ( ruh hukum ), yang lahir dari tendensi spiritual ( naz’ah ruhiyah ). Inilah ketentuan umum tentang kaidah syariat sebagai bagian dari hukum syariat. Intinya, ia harus digali dari dalil syariat dan melalui ijtihad yang shahih.


Kaidah ini di mata Ulama Fikih dan Ushul Fikih


“ Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya “

Jika kita menganalisis kitab – kitan klasik, baik fikih maupun ushul fikih bisa disimpulkan bahwa kaidah di atas bisa dikatakan jarang dipakai oleh para ulama fikih dan ushul. Kebanyakan ulama fikih dan ushul justru menggunakan kaidah :

“ Perkara yang mudah ( bisa dikerjakan ),
tidak bisa dianggap gugur kewajibannya. Karena
adanya perkara yang sulit ( tidak bisa dikerjakan ) “

Meski kedua kaidah dengan redaksi yang berbeda ini konotasinya sama, sebagaimana kedua – duanya tel;ah digunakan oleh Dr. Muhammad Khayr Haykal dalam disertasi doktoralnya. Al – jihad wa al – Qital fi as – Siyasah as – Syar’iyyah, kaidah kedualah yang lebih populer di kalangan ulama ushul mtaakhir.
Dalam kitab – kitab klasik dan mutaakhir, kita akan menemukan kaidah ini, masing – masing dalam kitab Awn – al – Ma’bud, karya Abu Thayyib dan kitab Abjad al – Ulum, karya Shadiq al – Qanuji ( w. 1307 ) meski keduanya tidak dalam konteks menguraikan kaidah tersebut. Sedangkan kaidah kedua banyak digunakan oleh ulama fikih ushul klasik, antara lain, al – ibhaj karya as – Subki ( w. 756 H ), al – Asybah wa an – Nadha’ir karya as – Suyuthi ( w. 911 H ) dan lai – lain.
Ditilik dari maknanya, keduanya mempunyai persamaan maksud, meski demikian dengan konteks redaksional yang berbeda. Masing – masing menjelaskan hukum melaksanakan kewajiban syariat, bahwa hukum melaksanakan kewajiban adalah wajib, dan kewajiban itu tetap wajib dilaksanakan meski kewajiban itu merupakan perkara yang ma’sur ( sukar ). Sebab, sukarnya kewajiban tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban secara keseluruhan, termasuk yang bisa dilaksanakan ( al – maysur ). Dari sinilah, konteks kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ( apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya )menemukan persamaannya dengan kaidah al – maysur di atas. Artinya, tidak mungkinnya suatu kewajiban untuk dilaksanakan secara keseluruhan tidak berarti semuanya menjadi tidak wajib atau boleh ditinggalkan.Akan tetapi, mana yang mungkin itulah yang harsu dilaksanakan.
Menurut as – Suyuthi, kaidah di atas digali dari Hadis Nabi SAW, yang mengatakan :
“ Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan, tunaikanlah urusan itu sesuai dengan kemampuan kalian, “.
Hanya saja, konteks ma-statha’tum ( sesuai dengan kemampuan kalian), mengindikasikan adanya aqsha al-istitha’ah ( kemampuan yang paling tinggi ) dan bukan semampunya. Misalnya, jika seseorang mempunyai kemampuan 10, maka tidak dikatakan ma’statha’tum, ketika dia menunaikan perintah tersebut hanya dengan kemampuan 8 atau 9. baru ketika dia menunaikannya dengan kemampuan 10, bisa dikatakan bahwa dia telah menunaikan perintah tersebut sesuai dengan kualifikasi ma-statha’tum.


Dari Lingkup Kaidah
Dilihat dari aspek lafal yang menjadi sandaran hukum pelaksanaan kewajiban tersebut, maka baik ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ataupun al – maysur la yasquthu bi al – ma’sur, yang notebane merupakan lafal kulli, bisa disimpulkan bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah kulliyah. Karena itu, kaidah ini meliputi banyak aspek. Bahkan, kaidah ini disebut – sebut oleh ulama ushul sebagai persoalan ushul yang sangat luas, yang nyaris tidak pernah dilupakan. Kaidah ini bisa digunakan dalam konteks ibadah. Misalnya, ketika seseorang dipenjara, sementara didalamnya tidak tersedia air dan juga tidak ada debu yang suci, maka ketika tiba waktunya shalat, orang tersebut tetap wajib menunaikan shalat, meski tanpa wudhu dan tayamum. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu dan tayamum di dalam penjara itu pada dasarnya tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban shalat orang tersebut. Sama dengan ketika seseorang yang baru masuk Islam yang notebane belum menguasai bacaan shalat, mulai dari takbir, al – Fatihah hingga doa – doa yang harus dibaca di dalamnya tidak berarti orang tersebut tidak wajib mengerjakan shalat. Sebaliknya, dia tetap wajib menunaikan kewajiban tersebut, meski untuk itu dia harus di talqin ( dipandu ) oleh orang lain. Kaidah ini juga bisa digunakan dalam konteks lain. Ketika Rasulullah SAW dan kaum Muslim tengah menghadapi pasukan koalisi musuh yang jumlahnya sangat besar dalam Perang Khandak, beliau menyadari bahwa pasukan beliau tidak mampu mengalahkan mereka. Namun, tidak berarti bahwa mereka juga diperbolehkan untuk menyerah kepada pasukan koalisi musuh. Dalam situasi seperti iini, yang mungkin bagi Rasul sebagai panglima perang dan kepala negara Islam ketika itu, adalah melakukan perjanjian damai. Sebab, melakukan perjanjian damai ini masih mungkin dilakukan. Karena itu, kemungkinan ini tetap wajib dilaksanakan. Pada titik inilah kaidah : al – maysur la yusquthu ( perkara yang mudah [ bisa dikerjakan ] tidak bisa dianggap gugur kewajibannya karena adanya perkara yang sulit [ tidak bisa dilakukan ] ), atau kaidah : ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu ( yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya) bisa dipraktikkan.
Ini berbeda dengan status perjanijian damai yang dilakukan oleh otoritas Palestina dengan etnis yahudi, yang pernah difatwakan kebolehannya dengan justifikasi kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu. Penggunaan kaidah tersebut dalam konteks seperti ini jelas batil. Alasannya, karena baik otoritas Palestina maupun negeri – negeri Muslim di sekitarnya yang notebane terkena kewajiban berjihad untuk melawan Israel tidak pernah melakukan usaha untuk meraih semuanya, yaitu terbebasnya wilayah Palestina dari cengkraman yahudi dan hilangnya entitas yahudi dari wilayah tersebut. Sejak awal para penguasa tidak pernah mempersoalkan keberadaan entitas yahudi di bumi Palestina. Padahal, inilah masalah utmanya, bukan persoalan perbatasan atau yang lain. Ini merupakan bukti yang nyata, bahwa usaha untuk menyelesaikan krisis Palestina tersebut memang tidak pernah dilakukan dengan sungguh – sungguh. Lalu, bagaimana mungkin bisa dikatakan, ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu...?
Dalam konteks dakwah, kewajiban dakwah ini harus dilakukan secara maksimal ( aqsha al – istitha’ah ), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. setelah dilakukan secara maksimal, ternyata belum berhasil meraih tujuan, yaitu isti’naf al – hayah al - Islamiyyah ( melangsungkan kembali kehidupan Islam ), justru sebaliknya para pengembannya mendapatkan berbagi ujian, baik teror, penyiksaan fisik, eliminasi maupun yang lain, sehingga kewajiban tersebut menjadi stagnan. Karena itu, thalab an – nushrah dalam konteks seperti ini merupakan bagian dari kewajiban yang bisa dilakukan sehingga secara keseluruhan dakwah tetap bisa dilaksanakan. Artinya, thalab an – nushrah dalam konteks seperti ini merupakan perkara yang bisa dilaksanakan ( al – maysur ) makanya harus dilakukan baik untuk melindungi dakwah ( himayah ad – da’wah ) maupun untuk mendapatkan kekuasaan ( istilam al – hukm). Pada titik ini, melakukan thalab an – nushrah, selain merupakan kewajiban, yang dicontohkan oleh Rasul juga merupakan implementasi dari kaidah al – maysur la yusqutu bi al – ma’sur atau kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu. Sebaliknya, berbagai kompromi dengan sistem kufur dan para pengembannya yang dilakukan pada titik kritis seperti ini tetap tidak bisa dijustifikasi dengan kaidah tersebut. Sebab, konteks al – maysur maupun la yutraku jalluhu sama – sama berkaitan dengan sesuatu yang menjadi bagian dari kewajiban yang ditunaikan, atau apa saja yang terkait langsung dengan pelaksanaanya. Sebaliknya, perkara yang justru bertentangan dengan kewajiban tersebut, seperti kompromi dengan sistem kufur dan para pengembannya jelas out of context. Karena itu, tetap tidak bisa dijustifikasi dengan kaidah ini.
Dalam kasus pemilu, Islam memandang bahwa pemilu merupakan perkara yang mubah, dan tidak wajib. Sebab, pemilu merupakan salah satu uslub ( cara ) untuk memilih wakil, dan bukan thariqah ( metode ). Dalil kemubahannya adalah perbuatan RasulSAw, ketika meminta kaum Anshar untuk memilih 12 wakil dari kalangan meeka. Namun, setelah itu Rasul tidak pernah melakukannya lagi. Karena itu, hukum asal pemilu tetap mubah. Jika kemubahan ini terkait langsung dengan pelaksanaan kewajiban, yaitu melakukan perubahan sistem, dari sistem kufur menjadi sistem Islam, maka konteks kaidah al – maysur la yasquthu bi al – ma’sur atau kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu bisa digunakan. Sebaliknya, jika kemubahan ini terkait langsung atau bahkan bertentangan dengan kewajiban yang hendak ditegakkan maka kaidah tersebut jelas tidak bisa digunakan.
Dari paparan di atas bisa disimpulkan, bahwa kaidah “ ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu “ adalah kaidah kulliyah, yang bisa digunakan dalam berbagai konteks ditunaikannya kewajiban. Hanya saja, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan :
a. Konteks ma la yudraku kulluhu bisa dilakukan jika memang ada usaha yang dilakukan secara sungguh – sungguh untuk meraih seluruh kewajiban yang diperintahkan. Sebaliknya jika tidak ada usaha untuk meraih kewajiban yang diperinyahkan denagn sungguh – sungguh maka tidak bisa digunakan.
b. Konteks “ tidak bisa meraih semuanya “ adalah meraih semua kewajiban, misalnya ada satu kewajiban yang memiliki 10 poin, namun dalam pelaksanaannya karena berbagai kesulitan yang ada ke – 10 poin tersebut tidak bisa diraih semuanya, maka tidak berarti semuanya harus ditinggalkan. Yang bisa diraih itulah yang harus dilaksanakan. Inilah yang dimaksud dengan la yutraku jalluhu atau al – maysur. Karena itu, konteks “ yang bisa dilaksanakan “ merupakan bagian dari konteks “ yang tidak bisa dilaksanakan “ yaitu sama – sama merupakan perkara yang asalnya diwajibkan. Itu artinya, apa yang berada di luar konteks kewajiban tersebut tidak bisa dimasukkan dalam konteks ini.
c. Batasan ma la yudraku kulluhu atau al – ma’sur itu bisa ditentukan setelah kewajiban tersebut dilakukan. Sebelum kewajiban tersebut dilakukan tentu tidak bisa dikatakan tidak mungkin dan tidak bisa dilaksanakan. Ikhtiar untuk melaksanakannya pun harus maksimal, tidak boleh setengah – setengah. Dengan kata lain, harus aqsha al – wus’i ( potensi paling tinggi ) atau aqsha al – istitha’ah ( kemampuan paling tinggi ). Jika mempunyai potensi atau kemampuan 10, maka harus diberikan 10 untuk menunaikan kewajiban tersebut, sehingga baru layak disebut aqsha al – wus’i atau aqsha al – istitha’ah. Jika kemampuan 10 tapi yang diberikan hanya 5, 8 atau 9,5 maka dalam hal ini belum layak disebut aqsha al – wus’i atau aqsha al – istitha’ah. Setelah memberikan 10 ternyata masih belum bisa menjangkau pelaksanaan seluruh kewajiban tersebut, maka mana di antara kewajiban tersebut yang bisa dijangkau itulah yang harus dilakukan.
Inilah beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menggunakan kaidah ma la yudraku kulluhu tersebut.
Wallahu a’lam bi ash – shawab.


Daftar pustaka :

1. Ali Raghib, Ahkam as –Shalah, Dar an – Nadhah al – Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1991, hlm. 8.

2. An – Nabhani, as - Syakhshiyyah al – Islamiyyah, juz III, hlm. 445.

3. Muhammad Khayr Haykal, al – jihad wa al – Qital fi as – Siyasah as – Syar’iyyah, Dar al – Bayariq, Beirut, cet II, 1996, juz I, hlm. 735.

4. Abu Thayyib, ‘Awn al – Ma’bud, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1415, juz X, hlm. 233.

5. Shadiq al – Qanuji, Abjad al – ‘Ulum, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, 1978, juz III, hlm. 267.

6. Abd al – Kafi as – Subki, al – Ibhaj, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1404, juz I, hlm. 118.

7. As – Suyuthi, al – Asybah wa an – Nadha’ir, Dar al – Kutub al – Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1403, hlm. 159.

8. HR al – Bukhari dan Muslim, Lihat : al – Asqalani, Fath al – Bari, Dar al – Ma’rifah, Beirut, 1379, juz XIII, hlm. 261; as – Suyuthi, al – Asybah, hlm. 159.

9. As – Suyuthi, al – Asybah, hlm. 159; al – Hadhrami, Idhah al – Qawa’id, al – Haramayn li at – thiba’ah, t.t., hlm. 91.


Rabu, 25 Februari 2009

MENJUAL AYAT – AYAT ALLOH SWT



Tafsir Surat at – Taubah [9] – 9

“ Mereka menukarkan ayat – ayat Alloh dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi ( manusia ) dari jalan Alloh. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.


Makna Umum

Surat at – Taubah ayat 9 ini merupakan gambaran kaum musyrik, yang biasa menukarkan ayat – ayat Alloh SWT dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat – ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka. Sekalipun objek ayat ini adalah kaum musyrik, adanya penyifatan “ Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan, “ menunjukkan bahwa siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan yang paling buruk, yang tentu saja diharamkan.
Keharaman menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah ini ditegaskan oleh qara’in ( indikasi – indikasi ) dalam banyak ayat. Di antaranya, mereka yang melakukan hal tersebut berarti melakukan perbuatan amat buruk ( QS Ali Imran [3] : 187 dan at – Taubah [9] : 9); mereka celaka ( QS al – Baqarah [2] : 79); membeli kesesatan dengan petunjuk; membeli siksa dengan ampunan ( QS al – Baqarah [2] : 174 – 175 ). Semua ini secara tegas menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Lebih jauh, pengertian menjual ayat – ayat Alloh SWT dengan harga murah ini dijelaskan dalam ayat – ayat lain.
Pertama, menulis al – Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu menyatakan, “ ini dari Alloh, “ padahal bukan. ( Lihat QS al – Baqarah [2] : 79 ). Mereka memutar – mutar lidahnya membaca al – Kitab dan membuat – buat legalisasi seakan apa yang diungkapkannya adalah wahyu, padahal itu berasal dari logika mereka sendiri ( QS Ali Imran [3] : 77 – 88 ).
Kedua, menyembunyikan ayat Alloh. ( Lihat QS al – Baqarah [2] : 174 – 175 ). Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk, membeli siksa dengan ampunan. Alloh mengambil janji untuk menerangkan isi Kitab dan tidak menyembunyikannya. Akan tetapi, mereka melemparkan janji itu dan menukarkannya dengan harga sedikit. ( QS Ali Imran [3] : 187 ).
Ketiga, orang – orang yang beriman kepada Alloh dan pada wahyu yang diturunkan kepada para nabi apa adanya, mereka itu orang yang tidak menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah. Mereka tidak terpedaya oleh kelancaran dan kemajuan dalam perdagangan dan perusahaan orang kafir. Artinya, perbuatan tidak mengimaninya merupakan tindakan menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah ( Lihat QS Ali Imran [3] : 196 – 199 ).
Keempat, tidak menghukumi setiap perkara dengan ayat – ayat Alloh SWT dan menggantinya dengan yang lain karena takut kepada manusia. ( Lihat QS al – Maidah [5] : 44 ). Penyebab sebenarnya orang yang menukar ayat Alloh dengan harga murah adalah :
(1) lebih takut kepada manusia daripada kepada Alloh SWT ( Lihat QS al – Maidah [5] : 44 );
(2) untuk kepentingan orang lain ( Lihat QS al – Maidah [5] : 106 ); dan puncaknya
(3) untuk menghalang – halangi manusia dari jalan Alloh SWT ( Lihat QS at – Taubah [9] : 9 ). Walhasil, semuanya ditujukan semata – mata untuk kepentingan dunia.
Larangan menjual atau menukarkan ayat – ayat Alloh SWT dengan harga sedikit tidak bisa dipahami sebagai ‘ kalau harganya mahal adalah boleh ‘. Sebab, sekalipun perbuatannya itu dihargai dengan seluruh dunia dan segala isinya, semua itu tetap sedikit. Dunia dengan segala kesenangannya hanyalah seonggok perhiasaan yang penuh tipuan.. apa yang ada di dunia akan lenyap sementara apa yang ada pada sisi Alloh kekal ( QS an – Nahl [16] : 96 ). Dunia tidak ada artinya apa – apa jika dibandingkan dengan ampunan dan ridha Alloh SWT yang salah satu wujudnya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi ( QS Ali Imram [3] : 133 ). Kunci agar seseorang tidak terjerumus ke dalam tindakan menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah adalah betul – betul bertaqwa kepada Alloh SWT. ( QS al – Baqarah [2] : 41 ).

Pendapat Para Ahli Tafsir

Pengertian surat at – Taubah [9] : 9 ini akan lebih dapat dipahami dengan menyandingkannya dengan ayat berikut (QS al – Baqarah [2] : 41 ) : silahkan buka al – Qurannya.

1. Tafsir Jalalain’

QS at – Taubah [9] : 9 :
Mereka menjual ayat – ayat Alloh, al – Quran, dengan harga murah, berupa dunia ini. Artinya, mereka meninggalkan mengikuti ayat – ayat tersebut demi keinginan dan hawa nafsu. Lalu, mereka menghalan – halangi manusia dari jalan Alloh, din – Nya. Sesungguhnya itu adalah seburuk – buruk apa yang mereka lakukan.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Berimanlah pada apa yang Aku turunkan, yakni al – Quran, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, yaitu Taurat, karena kesesuaian al – Quran tersebut dengan Taurat dalam hal tauhid dan kenabian. Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir padanya dari kalangan Ahlul Kitab, karena orang – orang sesudah kalian yang mengikuti kalian maka dosa mereka akan menimpa kalian. Janganlah kalian menjual – yakni mengganti ayat – ayat – Ku yang terdapat dalam kitab kalian berupa sifat Nabi Muhammad SAW., dengan harga yang sedikit, yaitu dengan perhiasan dunia yang sangat kecil. Artinya, janganlah kalian menyembunyikan ayat – ayat tersebut karena takut kehilangan apa yang kalian ambil dari kalangan bawah kalian. Hanya kepada Akulah kalian harus bertaqwa, yakni takutlah hanya kepada – Ku dalam hal tersebut, bukan pada yang lain.

2. Tafsir al – Qurthubi
QS at – Taubah [9] : 9 : Mereka mengganti ayat – ayat Alloh, al – Quran, demi perhiasan dunia. Lalu mereka menghalang – halangi manusia dari jalan Alloh. Mereka menjual ayat – ayat dengan harga murah, artinya, Yahudi menjual hujah – hujah Alloh dan penjelasan – Nya demi mendapatkan kepemimpinan ( riyasah ) dan mendapatkan banyak materi. Mereka itulah orang – orang yang melampaui batas, maksudnya melampaui halal – haram, dengan memutuskan perjanjian.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Kalimat janganlah kalian menjual ( wa la tasytaru ) merupakan ma’thuf bagi kalimat dan janganlah kalian menjadi orang kafir pertama ( wa la takunu... ) Dia melarang mereka kafir dan mengambil harga atas ayat – ayat Alloh, yakni dengan mengubah sifat – sifat Muhammad SAW. Dulu para pendeta melakukan hal tersebut, maka mereka dilarang melakukannya. Ada juga yang mengatakan “ Janganlah kalian menjual....., “ artinya, Janganlah kalian menjual perintah – perintah – Ku, dan ayat – ayat – Ku dengan harga yang kecil; yakni dunia, keluasannya dan kehidupannya yang memang sedikit ( nazrun ) karena bahaya yang dikandungnya. Apa yang mereka tukarkan tersebut disebut harga ( tsaman ) karena mereka menjadikannya sebagai imbalan ( iwadh ). Karena itu, istilah harga diterapkan padanya sekalipun sebenarnya bukanlah harga. Sekalipun ayat ini khusus bagi bani Israil, ayat ini mencakup siapapun yang mengerjakan perbuatan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengambil sogokan ( risywah ) untuk mengubah kebenaran, menyatakan batil suatu kebenaran, menolak mengajarkan apa yang wajib dia ajarkan, menolak melakukan apa yang ia ketahui, ia masuk kedalam topik ayat tersebut. Wallahu a’alam.

3. Tafsir Ath – Thabari
QS at – Taubah [9] : 9 : Alloh, Zat Yang Maha Gagah Lagi Maha Terpuji, menyatakan bahwa mereka ( orang – orang musyrik ) yang Alloh menyuruh kalian, wahai kaum mukmin, untuk membunuh mereka dimana pun kalian temui mereka, karena mereka tidak mengikuti apa yang dihujahkan oleh Alloh SWT atas mereka – menjual hujah – hujah yang jelas dengan imbalan yang sedikit dari perhiasan dunia ini. Mereka adalah orang – orang yang memutuskan perjanjian dengan Rasul SAW. adapun pernyataan., “ Alau mereka menghalang – halangi manusia dari jalan Alloh, “ maknanya adalah, “ mereka menghalangi masyarakat masuk ke dalam Islam dan berupaya mengembalikan kaum Muslim dari agama mereka tersebut. “ Dalam kalimat, “ sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu, “ Alloh, Zat Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji menyatakan bahwa mereka kaum musyrik yang sifat – sifatnya telah dijelaskan itu amatlah buruk perbuatannya, yaitu perbuatan mereka membeli kekufuran dengan iman dan membeli kesesatan dengan petunjuk serta menghalang – halangi orang – orang yang beriman kepada Alloh dan Rasul – Nya itu dan orang – orang yang hendak menjadi beriman.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Abu ‘Aliyah mengatakan, makna kalimat, “ Janganlah kalian menjual ayat – ayat – Ku dengan harga sedikit, “ adalah, “ Janganlah kalian mengambil upah atas ayat – ayat tersebut. “ Sementara itu, As – Sudaymenyebutkan makna ‘ harga sedikit ‘ adalah, “ Janganlah kalian mengambil harga ( tham’an, tsaman ) sedikit dengan menyembunyikan nama Alloh. Jadi, takwil dari ayat tersebut adalah janganlah kalian menjual ilmu yang telah Aku berikan kepada kalian dalam kitab – Ku dan ayat – ayat – Ku dengan harga yang sangat murah dan perhiasan dunia yang sedikit. Penjualan mereka seperti itu berarti mereka meninggalkan keterangan yang ada dalam kitab mereka tentang Nabi Muhammad SAW bagi masyarakat, padahal di dalam kitab itu disebutkan bahwa beliau adalah nabi yang ummi, baik dalam Taurat maupun Injil. Penjualan dilakukan dengan harga murah, yaitu berupa kesukaan mereka untuk mendapatkan kepemimpinan dari golongan dan agama mereka, dan mereka pun mendapatkan imbalan atas apa yang mereka jelaskan kepada masyarakat itu.

4. Tafsir Ibnu Katsir
QS at – Taubah [9] : 9 : Alloh, Zat Yang Maha Tinggi, berfirman sebagai celaan terhadap kaum musyrikin dan anjuran bagi kaum Mukmin untuk memerangi mereka: “ Mereka menjual ayat – ayat Alloh dengan harga sedikit, “ Artinya, mereka menolak mengikuti ayat – ayat Alloh karena digelincirkan oleh urusan – urusan dunia yang rendah. “ Lalu mereka menghalang – halangi dari jalan – Nya, “ yakni mereka menghalangi kaum Mukmin untuk mengikuti kebenaran ( Al – Haq ). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.
QS al – Baqarah [2] : 41 : Adapun pernyataan, “ Janganlah kalian menjual ayat – ayat Alloh dengan harga sedikit, “ artinya janganlah kalian menukar keimanan kepada ayat – ayat – Ku dan pembenaran atas Rasul – Ku ini dengan dunia dan segala daya tariknya. Sebab, semua itu sedikit lagi fana. Sebagaimana yang disebutkan oleh al – Hasan al – Bashri, ‘ harga sedikit ‘ maknanya adalah dunia dan segala isinya, sedangkan menurut Sa’ad bin Jubair, ‘ dunia dan segala daya tariknya’. Berkenaan dengan firman Alloh, “ Hanya kepada – Ku – lah hendaknya kalian bertaqwa, “ arti taqwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Alloh dengan mengharap rahmat Alloh di atas cahaya Alloh serta meninggalkan kemaksiatan kepada – Nya di atas cahaya – Nya karena takut akan siksaan – Nya. Kalimat tersebut juga berarti bahwa Alloh SWT mengancam mereka atas kesengajaan mereka menyembunyikan kebenaran dan memunculkan hal – hal yang bertentangan dengan kebenaran tersebut serta menyalahi Rasulullah SAW.

Renungan
Pengalaman menunjukkan bahwa pada saat – saat pemilihan umum ( Pemilu ) sering ayat – ayat al – Quran disajikan. Jika penyajian tersebut dalam rangka menjelaskan hukum dan upaya untuk memperjuangkannya untuk diterapkan di tengah kehidupan, maka hal tersebut merupakan tuntutan Islam. Akan tetapi, sayangnya, banyak ayat – ayat tersebut sekedar untuk meraih dukungan, disajikan dalam konteks perolehan suara, dan setelah itu selesailah sudah.
Keluarlah ayat bahwa kalimat yang baik laksana pohon yang baik ( seperti disitir dalam QS Ibrahim [14] : 24 ) untuk mempromosikan lambang partainya yang berbentuk pohon. Diungkaplah pernyataan umat Nabi Musa as dalam QS al – Maidah [5] : 24, “ Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah kalian berdua, kami di sini cukup duduk saja, “ untuk melegalisasi keikut sertaan dalam sistem kufur dan menyindir orang yang tidak mau terlibat dalam sistem tersebut ( GOLPUT). Juga, dieksploitasilah ayat – ayat syura ( seperti dalam QS Ali Imran [3] : 159 dan QS asy – Syura [42] : 38 ) dengan menyatakan bahwa syura adalah demokrasi – dalam rangka melegalkan sistem demokrasi dan meraih dukungan bagi partainya. Banyak lagi ayat – ayat al – Quran yang bertebaran saat Pemilu, yang sayangnya jauh dari pengertian sesungguhnya dan tampak dipaksakan hanya sekedar untuk meraih dukungan.
Wahai kaum Muslim, waspadalah, jangan sampai terjerumus pada kategori, “ menjual ayat – ayat Alloh dengan harga murah !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! “




Daftar pustaka:
1. Al – Alamah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al – Mahalliy dan Asy Syaikh al – Mutabahhir Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as – Suyuthi, Tafsir Jalalain. t.t.. Dar al – Hadist, Kairo. Jilid 1, hlm. 241.
2. Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al – Qurthubiy Abu Abdillah, Tafsir al – Qurthubi, 1372 H. Dar asy – Sya’bi, Kairo. Jilid 8, hlm. 80 dan Juz I, hlm. 334 – 335.
3. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid ath – Thabari Abu Ja’far, Tafsir ath – Thabari. 1405 H. Dar al Fikr, Beirut. Jilid 10, hlm. 86 dan Jilid I, hlm. 253.
4. Isma’il bin Umar bin Katsir ad – Dimsyaqi Abu Fida, Tafsir Ibnu Katsir. 1401 H. Dar al Fikr, Beirut. Jilid IV, hlm. 341 dan Jilid I, hlm. 107 – 108.

Senin, 23 Februari 2009

PARPOL ISLAM, MINUS PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM



Apa kabar parpol Islam menjelang Pemilu 2009...? Apa yang mereka lakukan untuk menghadapi pertarungan politik di kancah Pemilu 2009...? Masihkah ambigu terhadap gagasan penerapan syariat Islam. Ya wajar saja, karena mereka menjadikan Islam sebagai tameng untuk meraup suara. Lalu bagaimana “ prestasi “ parpol Islam setelah mereka berkiprah sejak Pemilu lalu hingga sekarang...? Mungkin terlalu dini menilai prestasi parpol Islam di pentas politik nasional. Keberadaan mereka juga masih amat belia. Seperti kata pengamat politik Muslim al – Chaidar, kelahiran reformasi dan parpol Islam pada tahun 1998 lalu terbilang prematur. Boleh jadi demikian, meski ada juga parpol Islam yang telah memiliki basis massa yang kental sejak era Orde Baru. Namun demikian, bukan bersrti indeks prestasi parpol Islam sama sekali tidak bisa diukur. Mengingat jangka waktu dari Pemilu lalu hingga Pemilu 2009 memiliki rentang waktu yang lumayan memadai bagi parpol Islam untuk berkiprah. Ada dua hal yang mungkin bisa menjadi parameter prestasi parpol Islam. Pertama, masihkah parpol Islam dipercaya publik untuk menjadi saluran aspirasi, entitas dan alat perjuangan umat. Kedua, menyangkut gagasan dan ideologi partai; apakah parpol – parpol Islam tersebut berani menampakkan “ benang merah “ misi mereka; menegakkan syariat Islam dan mengusung gagasan Negara Islam...? Dua hal ini sama – sama penting dan saling berkelindan. Dukungan publik menunjukkan tingkat akuntabilitas sebuah parpol di mata khalayak. Jika publik melihat parpol Islam bisa membawa aspirasi mereka, bersikap kritis terhadap kebijakan rezim penguasa yang merugikan hajat hidup rakyat banyak – dan bukan sekedar janji – maka parpol Islam akan menjadi tumpuan harapan umat. Sementara itu, yang kedua – penegakkan syariat dan gagasan Negara Islam – berkaitan dengan integritas parpol tersebut pada ideologi mereka. Apakah asa Islam melekat secara inheren dengan parpol tersebut ( bukan cuma artifisial yang tampak pada perilaku individual para politisinya – misalnya berjenggot, berjilbab, berkoko – tetapi juga tampak pada program, agenda setting politik dan platform perjuangan mereka ). Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi parpol – parpol Islam – baik yang berkiprah pada kancah Pemilu 2009 ataupun yang bergerak ekstraparlementer, tetapi bertujuan untuk memberikan “ peringatan dini “ sekaligus sebagai input yang mudah – mudahan berharga bagi mereka.

Terjebak Pola Lama
Eep Saefullah Fatah, pengamat politik dari LIPI, memberikan sejumlah kritik pada kalangan Islam termasuk parpolnya. Salah satu kritiknya adalah kalangan Islam lebih senang membuat kereumunan ketimbang barisan. Kerumunan, menurutnya bisa saja terdiri dari banyak orang namun sangat rentan karena tidak memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan dan rencana – renca aksi yang dikonsensuskan diantara mereka. Sebaliknya, barisan, sekalipun beranggotakan sedikit, merupakan sebuah kekuatan yang tangguh karena memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan dan rencana – rencana aksi ( Eep Seafullah Fatah, Zaman Kesempatan, h. 260 ). Fenomena ini mudah terlihat. Parpol – parpol Islam peserta Pemilu baru mulai bekerja pada tahapan menjaring pemilih, bukan membangunnya. Mereka baru bergerak menjelang Pemilu – menggalang aneka dukungan; melalukan aksi – aksi sosial, pertemuan partai dengan kalangan umum,; melakukan kontak – kontak politik dengan tokoh – totkoh masyarakat – dan dilakukan intens ( hanya ) menjelang Pemilu. Seolah tidak belajar dari pengalaman, pola tradisional ini masih dipertahankan oleh parpol – parpol Islam. Memang, jika pola ini dikombinasikan dengan memanfaatkan kharisma public figure sebagai votegetter maka efektif untuk menarik pemilih. Akan tetapi, massa yang terbangun dengan cara ini bukanlah massa yang “ sadar “. Massa yang paham dan menjiwai platform partai dan setia memberikan dukungan. Massa yang akan diperoleh parpol Islam dari pola tradisional itu hanyalah kerumunan ( agregat ), floating mass, massa mengambang. Mereka akan berkerumun saat Pemilu tetapi, kemudian rentan untuk menyublim sesudahnya. Ambisi mendulang suara yang berlimpah pada Pemilu dengan pola tradisional akhirnya mengorbankan integritas parpol bersangkutan. Publik yang secara umum masih phobi terhadap Islam akibat trauma politik mas alalu dan juga “ pelintiran “ atas pemikiran Islam oleh Barat ( Ghazwul fikri ) memberikan semacam perasaan “ tidak nyaman “ ( mungkin juga ketakuta ) bagi parpol Islam untuk mengkampanyekan syariat Islam apalagi Negara Islam. Daripada kehilangan pemilih lebih baik mencairkan ideologi partai, begitu pikir mereka. Kondisi inilah yang mungkin menjadi semacam “ keterpaksaan “ bagi parpol Islam sehingga mereka bersikap ambigu terhadap upaya penegakkan syariat Islam dan gagasan Negara Islam. Parpol Islam bisa jadi memilih menjadi parpol yang populer dan populis secepat – cepatnya. Walaupun harus kehilangan taji ideologisnya. Karena itu, tiga kali even Pemilu nyaris sepi dari kampanye penegakkan syariat oleh parpol Islam. Kalangan Islam baru membangun kepercayaan publik lewat jargon – jargon dan slogan – slogan yang terlalu umum, yang kurang mencerminkan karakter dari sebuah parpol Islam yang mengusung ideologi Islam; nyaris tidak ada bedanya dengan parpol – parpol lain pada umumnya. Gejala ini tidak saja khusus menimpa parpol kontestan Pemilu. Parpol Islam atau kelompok dakwah manapun bisa terjebak pada pola ini walau mereka bergerak secara ekstraparlementer. Ini terjadi jika mereka lebih mengejar target kuatitas ketimbang kualitas pendukung. Karena merasa berpacu dengan waktu, parpol Islam akan mematok target kuatitas rekrutmen pendukung sebanyak – banyaknya dengan mengabaikan pembinaan. Memang, dalam hitungan politis, lebih mudah membangun kerumunan ketimbang barisan. Energi, biaya dan waktu yang diperlukan jauh lebih kecil meski dengan hasil tidak maksimal. Daripada mengorbankan ideologi partai dan hanya mendapatkan massa mengambang, seharusnya parpol – parpol Islam mencari pendekatan lain untuk menggalang dukungan. Untuk itu, tidak ada strategi lain kecuali melakukan pembinaan politik kepada publik. Program pencerdasan umat dengan pemikiran – pemikiran Islam jauh lebih berdaya guna ketimbang kegiatan – kegiatan ekstravaganza macam show of force yang kerap mereka lakukan. Pamer kekuatan semacam itu memang menyenangkan, karena menjadi konsumsi publik dan media massa. Akan tetapi bisa membuat lupa diri bahwa parpol Islam seharusnya melakukan gerakan ideologis, bukan cuma gerakan massal. Untuk itu, parpol harus bisa membangun kepercayaan publik pada Islam; mengarahkan visi hidup mereka dan menjelaskan tujuan perjuangan parpol yaitu penegakkan syariat Islam dalam naungan negara. Aktivitas ini tidak cukup hanya dengan kegiatan rutin sekali dalam lima tahun, apalagi hanya menjelang Pemilu, tetapi harus kontinu, teragendakan dan memiliki sasaran yang jelas.

Platform Buram


Kritik lain yang dilontarkan Eep pada kalangan Islam adalah kenyataan kalangan Islam lebih suka mengurusi kulit daripada isi. Soal – soal substantif kerap justru luput dari perhatian kalangan Islam, sementara pada saat yang sama, soal – soal artifisial justru diurusi ( Eep Saefullah Fatah, ibid., h. 257 ). Sebagai contoh, pada kasus RUU sisdiknas kalangan Islam lebih mempersoalkan pasal pendidikan agama yang dikhawatirkan mengundang pemurtadan. Akan tetapi, substansi dari RUU Sisdiknas itu sendiri sebagai produk sistem kapitalis – sekular nyaris tak terjamah. Buktinya demo – demo itu berhenti saat RUU tersebutditunda pengesahannya. Padahal, di sekolah - sekolah di Tanah Air mulai dari tingkat elementer hingga perguruan tinggi – aneka pemikiran kufur bertebaran dan dipelajari anak – anak kaum Muslim. Begitu pula masalah otonomi kampus yang menyebabkan bengkaknya biaya pendidikan atau “ jalur khusus “ di PTN – PTN yang melahirkan “ anak emas “ juga sepi dari perhatian dan kekritisan kalangan Islam. Karena itu, Eep menyarankan agar kalangan Islam mendukung reformasi sistematik; perubahan yang meyeluruh, bukan parsial; perubahan yang substansial, bukan artifisial.
Hanya saja, transformasi politik – sosial – ekonomi yang seharusnya dilakukan umat berpulang pada platform parpol Islam itu sendiri. Apakah parpol – parpol Islam telah memiliki platform yang jelas, visi dan misi perubahan yang jernih ataukah buram...? Tentu saja di dalamnya harus secara iheren terbangun sistem Islam yang akan dituju. Akan tetapi, jika parpol Islam sendiri sudah menutup diri dari penegakkan syariat, bagaimana mungkin transformasi menuju masyarakat yang ideal bisa terwujud. Cukup ironis mengingat masih ada kalangan Islam – termasuk parpol Islam – yang memandang skeptis syariat Islam sebagai problem solving masalah – masalah kemanusiaan. Para politisi Muslim lebih senang dimabuk ide “ civil society “ dan “ demokrasi Islam “ ketimbang Khilafah Islamiyah. Bahkan tidak sedikit politisi Muslim yang dengan sinis menyebut kampanye penegakkan Khilafah sebagai “ nostalgia “ atau “ romantisme historis “. Ada juga yang enggan menyuarakan gagasan Khilafah hanya karena istilah itu masih asing di telinga khalayak. Jika gagasan penegakkan syariat Islam dan Khilafah tertolak, lantas bentuk transformasi apa yang hendak ditawarkan oleh parpol – parpol Islam...? Sebab, civil society ataupun demokrasi Islam yang kini didengang – dengungkan baru sebatas tataran wacana, belum menjadi konsep utuh. Bahkan ia belum pernah menjadi sejarah ( ahistoris )...! Jika upaya penegakkan Khilafah dianggap romantisme sejarah, lalu apa sebutan yang pas bagi perjuangan sebuah gagasan yang masih absurd...? Jangankan demokrasi Islam, ajaran demokrasi sendiri hingga kini masih terus mengalami dialetika. W.B. Gallie beberapa tahun silam pernah mengatakan, “ Demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan, “ Ia menandaskan, “ Ada beberapa perselisihan pandangan yang menyangkut konsep – konsep semacam itu. “ ( John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di negara – negara Muslim). Lebih jauh lagi, Esposito dalam bukunya mengatakan bahwa bagi Barat, konsep “ Demokrasi Islam “ sesungguhnya sebuah anatema (Esposito, ibid.). Pemikir Barat lain, Giovanni Sartori, mengatakan, “ Ketika kita menerapkan konsep demokrasi pada kebanyakan negara Dunia Ketiga, terutama yang disebut negara – negara berkembang, standarnya menjadi lebih rendah sehingga orang mungkin akan sangsi apakah konsep demokrasi masih layak dipakai...? Demokrasi menurut Woodrow Wilson, merupakan bentuk pemerintaha yang paling sulit. “ ( Esposito, ibid.). Jika demokrasi saja sudah sedemikian sulit bahkan absurd, bagaimana lagi konsep “ demokrasi Islam “...? Jangan – jangan ia seperti menegakkan benang basah...? Kenyataanya, belum ada satu negeri Islam pun yang sukses dengan demokrasi Islam.


Akibat Mainstream Politik
Hal lain yang mungkin menyebabkan parpol Islam bersikap ambigu terhadap upya penegakkan syariat adalah mainstream politik yang mereka ikuti. Di negeri – negeri Muslim, keikutsertaan parpol Islam dalam ajang Pemilu selalu disyaratkan mematuhi mainstream politik yang eksis warisan negera – negara kafir imperialis. Sebagian kalangan Islam berdalih dengan kaidah syariat, “ Ma la yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu ( Apa yang tidak bisa diambil seluruhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya). “ dengan kaidah ini, sebagian kalangan Islam melegalkan sikap koperatif dengan mainstream politik yang ada. Dampaknya jelas terasa, yakni munculnya deviasi terhadap terhadap visi dan misi perjuangan parpol itu sendiri. Ketidakkonsistenan politik atau ambiguitas itu, yang paling terasa, adalah saat isu presiden wanita menjelangperhelatan Pemilu lalu, dengan sasaran tembak PDI – P dan Megawati. Para khatib, ustadz, mualim terlepas dari kontituen parpolnya – menyerukan keharaman mengangkat wanita sebagai kepala negara / presiden. Namun, seperti menjilat ludah sendiri, ketika Gusdur sebagai RI – 1 menimbulkan banyak krisis, sebagian politisi Muslim pada parpol Islam justru melegalkan ( atau setidaknya membiarkan ) Megawati naik tampuk kepresidenan. Orang pun bisa menebak bahwa nuansa politis berada di balik keputusan tersebut. Tragis memang, Marilah kita renungi : QS 6 : 153.
Silahkan buka Al – Qurannya.

Sabtu, 21 Februari 2009

MEMBANDINGKAN PEMILU Dalam Sistem Islam dan Sistem Demokrasi.


Sistem Islam berbeda dengan sistem demokrasi dari asasnya. Keduanya melahirkan sistem yang berbeda, bahkan bertentangan termasuk Pemilu. Dewasa ini Pemilu terlanjur menjadi ritual politik terpenting bagi rakyat, termasuk kaum Muslim. Di dalamnya tergantung harapan rakyat untuk memperbaiki kehidupan mereka. Akhirnya, kaum Muslim pun hanya melihat Pemilu dari sudut kemaslahatan semata, untung atau rugi; bukan dari sudut apakah Pemilu dalam sistem demokrasi itu benar atau tidak menurut Islam. Padahal, sudut pandang inilah yang terpenting bagi seorang Muslim jika benar – benar ingin mencapai ridha Alloh SWT.

Kedudukan Pemilu dalam Islam hanyalah salah satu cara untuk mengetahui kehendak rakyat, yang terkait dengan siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi kepala negara ( Khalifah ) atau wakil rakyat dalam majelis umat. Pemilu bukanlah sesuatu yang wajib dilaksanakan, karena kedaulatan di tangan syariat ( Alloh SWT ), bukan di tangan rakyat yang tergambar dalam suara mayoritas. Yang wajib diperhatikan adalah bagaimana mengetahui pilihan rakyat dan kerelaan mereka hingga khalifah bisa dibaiat sebagai pelaksana al – Quran dan Sunnah Nabi SAW, atau wakil – wakil rakyat yang duduk dalam majelis umat bisa terpilih. Sebaliknya, Pemilu dalam demokrasi merupakan metode pokok untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan suara mayoritas. Dengan kata lain, Pemilu dalam demokrasi wajib dilaksanakan agar kehendak sebagai pemegang kedaulatan dapat diwujudkan hingga wakil – wakil rakyat dalam legislatif dan kepala negara terpilih. Selanjutnya, legislatif sebagai pemegang kedaulatan membuat hukum dan perundang – undangan untuk dilaksanakan oleh kepala negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Jadi, kedudukan, fungsi dan tujuan Pemilu dalam demokrasi berbeda dengan Pemilu dalam Islam (an – Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, hlm. 39 – 44 ).

Islam membedakan siapa saja yang menjadi pemilih dan yang berhak dipilih. Untuk memilih wakil wakil rakyat yang akan duduk sebagai anggota majelis umat, seluruh rakyat ikut menjadi pemilih. Akan tetapi, non – Muslim memilih wakilnya dari kalangan non – Muslim. Kaum Muslim memilih wakilnya dari kalangan mereka. Hal ini terkait dengan perbedaan mendasar peran majelis umat dengan lembaga legislatif dalam sistem demokrasi. Majelis umat hanyalah wakil rakyat untuk menyampaikan kepentingan mereka kepada Khalifah terkait dengan pelayanannya kepada rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan. Majelis umat tidak berfungsi untuk membuat UUD atau UU, karena kedaulatan sendiri ada di tangan syariat ( Alloh SWT ), bukan di tangan rakyat. Khalifah hanya tinggal melaksanakan al – Quran dan Sunnah Nabi SAW yang sudah tetap dan sempurna sejak 14 abad silam ( An – Nabhani, ibid, hlm, 267 – 291 ).

Sebaliknya, lembaga legislatif dalam sistem demokrasi merupakan perwujudan kedaulatan rakyat hingga otomatis berperan untuk membuat hukum dan perundang – undangan. Benar dan salah, baik dan buruk, terpuji dan tercela, halal dan haram semuanya terserah kepada kehendak rakyatdengan mekanisme suara mayoritas rakyat, yang direpresentasikan oleh para wakil mereka di parlemen. Di sinilah pertentangan mendasar antara Islam dan demokrasi. Dengan perbedaan ini, Islam akan mengeliminasi demokrasi dan demokrasi akan mengeliminasi Islam, tidak mungkin bisa bersatu ( Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, hlm. 29 – 38 ). Adalah hal yang wajar jika sistem demokrasi tidak pernah memberikan kesempatan kepada Islam untuk menang. Jika partai Islam yang benar – benar ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah – menang maka hasil Pemilu dianggap tidak sah, bahkan harus dibatalkan sekalipun harus dengan kekuatan senjata. Inilah yang terjadi di Aljazair dan Turki. Kebebasan dan jaminan HAM dalam sistem demokrasi pada akhirnya tidak berlaku untuk Islam dan kaum Muslim.

Ketika memilih kepala negara, yakni Khalifah, Islam mensyaratkan bahwa yang memilih dan dipilih hanya kaum Muslim ( Lihat QS [4] an Nisa : 59 dan 141 ). Lagi pula, tugas Khalifah adalah melaksanakan syariat Islam secara kaffah yang tidak mungkin akan sanggup diemban kecuali oleh seorang Muslim yang bertaqwa. Adapun syarat – syarat sah agar seorang layak dipilih untuk dibaiat menjadi seorang Khalifah adalah : Muslim, laki – laki, balig, berakal, adil, merdeka ( bukan budak ) dan mampu mengembanamanah Khalifah ( An – Nabhani, sistem Khilafah, hlm. 32 – 40 ). Hal – hal yang lain dianggap syarat seperti harus dar suku Qurays, harus mujtahid, harus pemberani, harus dari kalangan politikkus ulung, dan lainnya – hanyalah syarat keutamaan. Artinya, jika seorang calon Khalifah memiliki semua syarat sah dan syarat keutamaan maka dialah yang paling layak menjadi Khalifah.
Khalifah bukan orang upahan rakyat sehingga dia tidak menerima gaji atas jabatannya, tetapi sekedar menerima tunjangan hidup sebatas kebutuhan diri dan keluarganya yang layak karena dia tidak dapat bekerja mencari penghidupan ketika mengemban tugas Kekhalifahan. Rakyat tidak berhak membatasi masa jabatan Khalifah. Berapa lama dia menjabat Khalifah bergantung pada konsistensinya dalam melaksanakan al – Quran dan as – Sunnah serta kemampuannya mengemban tugas – tugas Kekhalifahan ( An – Nabhani, op.cit.., hlm. 47 – 133 ).

Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, kepala negara adalah orang yang diupah oleh rakyat untuk melaksanakan hukum dan perundang – undangan buatan mereka melalui lembaga legislatif. Inilah yang disebut kontrak sosial. Wajar jika rakyat berwenang untuk mengubah hukum dan perundang – undangan sekaligus memecat kepala negara kapanpun mereka kehendaki. Dalam demokrasi, syarat – syarat kepala negara ditentukan dengan suara mayoritas dalam undang – undang. Seseorang yang sebetulnya tidak layak menjadi kepala negarasangat mungkin bisa menjadi kepala negara jika didukung oleh suara mayoritas rakyat.





Daftar Pustaka :

1. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sistem Khilafah.

2. Syaikh Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur.

3. Ibn Hisyam, sirah ibn Hisyam.

4. Imam al - Mawardi, Al - Ahkam as - Ssulthaniyah.

5. Imam as – Suyuthi, Tarikh al – Khulafa.

6. Dr. Ali Muhammad ash – Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.

Rabu, 18 Februari 2009

20 PETUNJUK MEMILIH ISTRI



Saya panjatkan puja, puji dan syukur kepada Alloh SWT yang telah mengutus Rasul-Nya untuk memberikan pedoman kepada kaum laki –laki dalam memilih pasangan. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW., keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya yang setia. Terbentuknya keluarga yang sakinah merupakan dambaan setiap pasangan suami istri. Untuk mewujudkan itu semua, yang perlu diperhatikan adalah dalam memilih pasangan. Bagi muslimin pemilihan istri yang baik merupakan hal yang sangat mutlak. Karena dia, kelak yang akan mendidik anak dan memelihara hartanya.
Oleh karena itu, para muslimin harus memiliki tolok ukur yang benar. Apabila dia berpegang pada tolok ukur yang salah bukan ketentraman, kedamaian dan kebahagian yang dia dapatkan. Melainkan keributan dan pertengkaran dengan pasangannya. Maka dari itu kita semua harus lebih berhati – hati dalam memilih pasangan hidup.
Nah sekarang, apa saja sih 20 petunjuk dalam memilih istri :
1. Taat beragama,
2. Dari lingkungan keluarga yang baik,
3. Perawan,
4. Penyabar,

5. Memikat hati,
6. Amanah,
7. Tidak bersolek bila keluar rumah,

8. Kufu’ dalam beragama,

9. Tidak materialis,

10. Senang menyambung tali silaturahmi,
11. Pandai menyimpan rahasia,

12. subur,

13. Tabah dalam menderita,
14. Bukan pencemburu buta,
15. Peringai dan kata – katanya menyenangkan,

16. Mudah dilamar,

17. Besar cintanya,
18. Patuh dan taat
19. Hemat dan yang terakhir,

20. Besar kasih sayangnya kepada anak kecil.

Disini saya hanya akan membahas sebagian saja, tapi nanti Insya Alloh akan ada kelanjutannya.
1. Taat Beragama Agama ialah keyakinan yang disertai peribadatan yang sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam. Bila keyakinan dan peribadatan yang dilakukan seseorang menyimpang dari ketentuan Syari’at Islam, orang yang melakukannya berarti telah sesat. Untuk mengetahui ketaatan seseorang dalam beragama, kita harus berpedoman pada ketentuan Al – Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Tanda utama seseorang dikatakan taat beragama yaitu bila ia dapat menjalankan ketentuan pokok yang menjadi “Rukun Iman dan Rukun Islam” dengan benar. Tanda lainnya bila ia menjalankan ibadah yang diperintahka oleh Islam dengan tekun dan benar, diantaranya yang paling pokok adalah shalat dan dalam pergaulan sehari – hari (apa ia dapat menjaga martabatnya / berkhalwat alias berduaan dengan laki – laki yang bukan mahramnya). Tapi sebelum kita melakukan itu semua, yaitu menilai orang lain kita harus bisa dulu menilai diri kita sendiri. Diantaranya apakah kita sendiri sudah taat kepada aturan Alloh SWT ...???

2. Dari lingkungan keluarga yang baik Maksudnya adalah apakah ia berasal dari keluarga yang taat kepada ketentuan Alloh SWT ...??? Bukan berarti keluarga yang jelek atau tidak taat pada ketentuan Alloh tidak boleh dijadikan istri. Boleh saja, tapi itu butuh waktu yang lama dalam mendidiknya plus mesti ditopang oleh kesabaran.

3. Perawan
Laki – laki muslim sebaiknya berhati – hati terhadap perempuan yang pernah berpacaran apalagi gemar berganti pacar. Perempuan yang pernah berpacaran, berarti pernah mengenal kemesraan dengan laki – laki sehingga hatinya tidak polos lagi. Ia sudah tentu memiliki kenangan masa lalu dengan pacarnya sehinggaketika ia bercengkrama dengan suami, hati dan angan – anganya tidak sepenuhnya tertuju kepada suaminya. Ia akan membandingkan sentuhan kemesraan antara pacarnya dulu dengan suaminya. Selain itu, keperawanannya juga harus dipertanyakan karena tidak bisa dipastikan sejauh mana ia berhubungan dengan pacarnya. Untuk mengetahui keperawanan calon istri seorang laki – laki dapat melakukan cara – cara berikut ini :
 Menanyakan langsung kepada yang bersangkutan ketika melamar,
 Menanyakan kepada keluarga atau kerabat dekatnya yang dinilai jujur, adil dan objektif.
 Melakukan pemeriksaan medis bilamana ingin memperoleh keyakinanbahwa yang bersangkutan benar – benar perawan.akan tetapi, cara semacam ini harus mendapat persetujuan dulu dari perempuan yang bersangkutan, karena hal ini bisa dianggap merendahkan martabatnya.

4. Penyabar

Alloh SWT berfirman dalam QS At – Tahrim (66) ayat 11 :
“ Alloh menjadikan istri Fir’aun perumpamaan bagi orang – orang yang beriman ketika ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga; dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya; dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” Penjelasan : Sabar dalam bahasa Arab artinya lapang dada menerima kepahitan, kesulitan dan rintangan tanpa keluh kesah dan jengkel. Bila seseorang menggerutu dalam menghadapi kesulitan, jengkel dan marah maka dia dikatan tidak sabar. Jadi intinya istri yang sabar ialah yang suka memberikan dorongan dan semangat kepada suaminya dalam menghadapi segala macam tantangan dan rintangan. Oleh karena itu, setiap laki – laki sangat perlu memperhatikan sifat calon istrinya.

5. Memikat hati

Alloh SWT berfirman dalam QS Ani – Nisaa (4) ayat 3:
“ Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak – hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, ....” Penjelasan : Ayat tersebut menyebutkan agar laki – laki memilih perempuan yang memikat atau menyenangkan hatinya sebagai istri. Daya tarik yang utamanya adalah daya tarik akhlaq dan ketaatan perempuan yang bersangkutan kepada Alloh dan Rasul-Nya.


Minggu, 15 Februari 2009

Saatnya untuk merubah gaya hidup anda …?

Uang, selalu dibicarakan setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik. Uang, selalu dicari. Tapi berapa banyak orang yang beruntung bisa mendapatkan uang dengan banyak, dan tentunya halal coy…?

Perhatikan orang-orang yang mencari uang dari pagi sampai sore bahka sampai malam hari. Terhimpit beban pekerjaan, penuh keringat, terjebak kemacetan, ditekan atasan dan sebagainya. Tapi hasilnya …?

Tidak seberapa .……………………………………...

Sebagian dari anda mungkin sudah bosan alias boring untuk bekerja kepada boss yang tidak tahu diri, yang tidak tahu terima kasih dan suka memerintah seenaknya. Yang memeras keringat namun membayar seadanya. Sebagian dari anda pasti sudah bosan dan anda merasa tidak cocok dengan tempat anda bekerja yang memeras waktu, pikiran, dan tenaga ....………..

Seperti inikah gaya hidup yang Anda inginkan …?

Sebagian lagi mungkin sedang bingung mencari tambahan uang untuk membayar hutang, untuk biaya pengobatan, untuk biaya pendidikan, kredit barang, modal nikah, modal bisnis, modal pensiun, untuk bayar kos dan keperluan lainnya.…………………………..

Andakah salah satunya …?


Sekaranglah saatnya, untuk merubah gaya hidup anda. Tapi tetap tidak melanggar norma – norma agama. Karena Alloh SWT itu telah menebarkan rezikinya di muka bumi ini. Nah sekaranglah saatnya untuk merealisasikan ………………………………………………….

IMPIAN ANDA dan KELUARGA !!!!!!!!!!!!!!!!


Inginkah Anda untuk terbebas dari semua masalah itu …? Inginkah Anda untuk bekerja dari rumah sendiri, menatap uang mengalir ke rekening sambil duduk di depan televisi bersama keluarga tercinta …? Inginkah Anda beribadah dengan tenang …? Inginkah Anda pergi Umroh / Haji …? Inginkah Anda untuk bekerja kapan pun Anda inginkan, hanya saat Anda inginkan …? Inginkah Anda menjadi boss bagi diri sendiri …? Tidak perlu diatur-atur orang lagi …?

Inginkah Anda bisa bekerja dari mana pun Anda inginkan, sambil bersenang-senang bersama keluarga …? Dan uang tetap mengalir ke rekening anda. Dan yang terpenting, inginkah Anda mendapat income yang lebih banyak dari income Anda yang sekarang …?

Jika Anda ingin, maka jadilah pebisnis online.

Dengan potensi yang luar biasa besar, berbisnis di internet dapat membuat Anda menjadi sangat kaya, cukup dengan bekerja dari rumah atau sambil berkumpul bersama keluarga.
Jika Anda ingin, sekarang Anda telah berada di tempat yang tepat, saya akan mengajarkan kepada Anda cara-cara paling jitu untuk mendapatkan uang dengan melimpah melalui berbagai bisnis sederhana di internet !!!!!!!

Perhatikan baik-baik !!!!!!!!


Anda langsung buka situs ini : http://akses24online.com/tofi25, Kemudian baca, pelajari dengan seksama dan segeralah bergabung. Insya Alloh berhasil. Amien.


OK COY !!!!!!




sekedar Info :


Rahasia mendapat uang dengan melakukan klik di situs orang lain

Rahasia mendapat uang dengan memasang iklan di situs / blog Anda

Rahasia mendapat uang dengan menulis artikel di blog Anda

Rahasia mendapat uang dengan mengupload file di internet

Rahasia mendapat uang setiap kali orang masuk ke situs / blog Anda

Rahasia mendapat uang setiap kali orang keluar dari situs / blog Anda

Rahasia menjadi nomor 1 di google search! (Apapun bisnis Anda, jadikan GOOGLE sebagai salesman Anda!)

Rahasia sukses memasarkan produk Anda melalui internet. (baju, buku, mobil, rumah, komputer, dst ... )

Rahasia mendapat uang dengan memberikan jasa layanan online, mulai dari layanan advertising, web hosting, sampai e-business consulting.

Rahasia mendapat uang dengan menjual produk orang lain (menjadi agen) via internet, tanpa repot membuat dan mengurus produk sendiri.

Sabtu, 14 Februari 2009

PEMILU DALAM ISLAM ; HAKIKAT DAN HUKUMNYA

Adakah Pemilu dalam Islam ...?

Mungkin pertanyaan kita yang mendasar, apakah Pemilu (pemilihan umum) itu ada dalam Islam...? Jika Islam mengakui keberadaanya, apa dasar argumentasinya...? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan Khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin...? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu demokrasi...? Mari kita mengkaji satu persatu jawabannya.
Benar, Pemilu memang ada dan dibolehkan oleh Islam. Sebab, kekuasaan itu ada ditangan umat (as-sulthan li al ummah). Ini merupakan satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khalifah). Prinsip terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi Khalifah (Zallum, 2002:31 ; Al – Khalidi, 1980:95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (Khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Pemilu (al-intikhab) dapat menjadi salah satu cara (uslub) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi Khalifah.

Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslub), bukan metode (thariqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973:92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi’l al-far’i) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi’l al-‘ashli). Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan disatu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah 9:103 (silahkan buka Al-Qur’annya).

Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslub) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkanatau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang – dari perbuatan pokok – yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya, berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil – dalil khusus yang ada (An-Nabhani, 1953:1116 ; Zallum, 2002:205 – 206 ; Al-Mahmud, 1995:106-107).

Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan Khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (thariqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslub) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang jadi Khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996:130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah SAW :
“ Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati jahiliyah” (Hadis shahih. Lihat:shahih Muslim, II/240; Majma’ Az-Zawa’id, V/223-224; Nayl Al-Awthar, VII/183; Fath Al-Bari, XVI/240).
Rasulullah SAW, mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan “mati jahiliyah”. Artinya, ini merupakan indikasi (qarinah). Bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996:131). Adapun tatacara pelaksanaan baiat (Kayfiyah ada’ al-bai’ah). Sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslub yang bisa berubah-ubah (An-Nabhani, 1973:92). Dari sinilah, pemilu boleh dilakukan untuk memilih Khalifah. Sebab, pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih Khalifah yang akan dibaiat.

Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu...? Sebab, ada Ijma Sahabat mengenai tidak wajibnya berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah, sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda – beda untuk masing – masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, ridhwanullah ‘alayhim. Namun, pada semua khalifah yang keempat itu selalu ada satu metode (thariqah) yang tetap, dan tidak berubah – ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu – satunya metode untuk mengangkat khalifah, tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002:82)



Pemilihan Khulafaur Rasyidin

Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat melangsungkan akad Khalifah (haq al-ummah fi imdha ‘aqd al-khilafah) (Al-Khalidi, 1980, 114: 2002:26).
Baiat ada dua macam :
Pertama, baiat in’iqad, yaitu baiat akad khalifah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah.
Kedua, baiat ath-tha’at (bay’ah ‘ammah),
yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002:117-124).

Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing – masing. Adapun cara – cara praktis pengangkatan khalifah (ijra’at at-tanshib), atau cara (uslub) yang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda – beda. Dari cara – cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin sebagai berikut (Zallum, 2002:72-85).

Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 langkah berikut : (1) Diselenggarakan pertemuan (ijtima’) oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi ; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyih) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat sebagai khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyar) terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in’iqad bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-tha’at oleh umumnya umat kepada khalifah.

Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat : (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyarah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhlaf ‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi; (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in’iqad untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-tha’at oleh umat kepada khalifah.

Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakaratul maut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut : (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al- istikhlaf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah : (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyar) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in’iqad kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-tha’at oleh umat secara umum kepada khalifah.

Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah ali bin Abi Thalib, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut : (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in’iqad kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-tha’at oleh umat secara umum kepada khalifah.
Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafaur Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Taqiyuddin An-Nabhani (1963:137-140) dan Abdul Qadim Zallum (2002:84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhasabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara ini terdiri dari 4 (empat) langkah :
(1) Para anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama – nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.
(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhab) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara terbanyak.
(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in’iqad) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.
(4) Setelah selesai baiat, diumumkan kesegenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut namaa dan sifat – sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.



Pemilihan Anggota Majelis Umat

Di samping Pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada Pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhab) oleh umat, bukan melalui pengangkatan / penentuan (at-tayin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan ...? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil – wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra’yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990:90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002:221).
Mengingat Pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakalah; maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yag tidak megikat (al-‘aqd al-ja’izah) (lihat : Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Muzhahib al-Arba’ah, III / 148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (‘azl al-khalifah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadha’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa / negara (Zallum, 2002:114-115).



Samakah dengan Demokrasi ...?

Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara / teknis (uslub), memang boleh dikatan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, at-Tafkir, 1973:91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003:2).
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit.

Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayyah, secularism) (Al-Khalidi, 1980:44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995:23).

Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah li asy-sya’b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam sistem Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyadah li asy-syar’i), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Qur’an dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985:37-38; Ash-Shawi, 1996:69-70; Rais, 2001:311).
Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990:1; 1994:139-140; Belhaj, 1411:5).




Daftar Pustaka :

1. Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Cetakan 1 Beirut : Darul Bayariq.

2. Al- Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘ala al-Muzhalib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan 1 Beirut : Darul Fikr.

3. Al-Khalidi, Mahmud. 1980. Qawa’id Nizham al-hukm fi al-Islam. Kuwait; darul buhuts al-Imiyah.

4. Al-Khalidi, Mahmud. 2002. Al-Bay’at fi al_fikr as-siyasi al-Islami.

5. Al-Mahmud, Ahmad. 1995. Ad-Da’wah ila al-Islam. Cetakan 1 Beirut: Darul Ummah.

6. An-nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah. Juz II. Cetakan II. Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.

Rabu, 11 Februari 2009

PARPOL ISLAM, APA YANG KAU CARI ...?



Meski pemilu masih beberapa bulan lagi, tapi atmosfir di dalam negeri ini sudah dipenuhi dengan asap kampanye. Berbagai parpol sudah ada yang mencuri – curi start, meskipun dikemas dalam bentuk yang tidak menyerupai kampanye; entah itu temu kader, konvensi partai, rapat koordinasi, iklan di media cetak dan elektronik sampai ke bakti sosial dan sumbangan – sumbangan ke daerah miskin atau pun daerah bencana alam.
Hajatan besar lima tahunan ini memakan biaya triliunan rupiah dari uang rakyat dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sebenarnya, apa sih yang menjadi tujuan Pemilu sehingga seluruh rakyat gegap gempita menyambutnya ...? Namanya juga pesta rakyat, walaupun yang menuai hasilnya adalah para politisi dan pejabat. Tapi, sayang seluruh rakyat ini matanya masih tertutup. Mereka masih tertipu oleh keuntungan yang sesaat, daripada memikirkan 4 tahun ke depan. Apakah kehidupannya bakal berubah atau tidak ...? Dan faktanya adalah kehidupan seluruh rakyat malah semakin menderita.
Menurut pakar politik, Pemilu itu adalah pesta demokrasi, pestanya rakyat; karena demokrasi merupakan cerminan dari aspirasi rakyat untuk memilih para wakilnya yang duduk di parlemen, sekaligus untuk memilih pemimpin yang diidam-idamkannya. Wakil-wakil rakyat itulah yang bakal menjadi penyambung lidah rakyat, katanya; dan pemimpin itu pula yang menjalankan kehendak dan keinginan rakyat menuju masyarakat dan negara yang demokratis. Lalu, apa benar bahwa para wakil rakyat itu menjadi lidah penyambung aspirasi rakyat ...? Apa benar juga sang pemimpin yang terpilih itu menjalankan kehendak rakyatnya ...? Sayang faktanya justru berbicara lain. Alih-alih membela kepentingan rakyat, para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih selama ini justru lebih banyak mengagendakan kepentingan pribadi, keluarga, kepentingan kolega bisnis atau paling banter partainya. Lalu bagaiman dengan rakyatnya sendiri, habis manis sepah dibuang.
Akan tetapi, apa itu alasannya sehingga kita berlepas diri...? Tentu saja bukan. Kita yang mengaku Muslim yang menaati Alloh SWT dan Rasul-Nya, serta yang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunah itu sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupan harus memperhatikan beberapa kenyataan berikut ini;
Pertama, demokrasi merupakan sistem kufur yang dibangun berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan. Seluruh perkara di dalam demokrasi itu berasal dari - dan ditujukan pada manusia, bukan dari - dan Alloh SWT. Manusia dianggap sebagai sumber tasyři’ ( perundang-undangan ). Merekalah yang mengeluarkan peraturan terhadap seluruh urusan kehidupan mereka, dengan metode yang mereka pilih. Hal ini, merupakan bentuk kekufuran kepada Alloh SWT dan bertentangan dengan akidah Islam secara total. Alloh SWT, berfirman dalam QS. Al-A’raf [7] : 54;
Silahkan buka Al – Qur’annya.

Demokrasi sama artinya dengan mengabaikan otoritas Alloh SWT dan Rasul-Nya sebagai Syảri’ ( Pembuat Hukum ), dan digantikan oleh manusia ( rakyat ) sebagai pihak yang berdaulat. Ini sesuai dengan prinsip sekularisme ( pemisahan agama dengan urusan kehidupan; pemisahan agama dengan arena politik; pemisahan agama dengan urusan – urusan dunia ) yang selama ini dipropagandakan dan dijalankan oleh peradaban Barat yang kafir. Wajar jika negara – negara Barat selalu men - support jargon – jargon demokrasi dan mendorong Pemilu yang demokratis ( menurut mereka ). Dengan demikian, pesta demokrasi hakikatnya adalah pesta kekufuran yang melibatkan rakyat seluruh negeri.
Kedua, sebagian parpol Islam yang terlibat dalam Pemilu mengatakan bahwa kaum Muslim mampu mencapai penerapan hukum Islam melalui jalan usulan untuk penerapan syariat di parlemen. Menurut saya, pandangan ini tidak bisa di terima, sebab hal ini berarti tidak menjadikan Islam sebagai asas karena Islam adalah dĭn yang wajib kita terapkan, tetapi karena diterima oleh mayoritas masyarakat. Itu jika pandangan orang – orang yang mempropragandakan penerapam Islam untuk menjadi mayoritas di parlemen bisa di toleransi. Namun, kenyataannya, sistem ( pemerintahan ) kufur di Dunia Islam tidak mentoleransi hal itu. Sistem demokrasi memang mengkehendaki adanya orang – orang yang mengangkat syiar – syiar Islam di parlemen sebagai bentuk permainan peran oposisi, untuk menyempurnakan pentas demokrasi, dan menampakkan adanya pluralitas seluruh kelompok – kelompok politik dalam setiap keputusan yang mereka ambil. Seandainya parpol Islam berhasil seluruhnya di dalam pemilihan, mereka tetap tidak akan berhasil mencapai jumlah yang diminta untuk menerapkan hukum Islam di suatu negeri. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, sementara mereka sendiri telah bersumpah sebelum masuk ( menjadi anggota ) parlemen untuk menjaga undang – undang dasar yang ada ...?! Kenyataan yang ada membuktikan bahwa keberhasilan partai – partai politik yang mengangkat syiar – syiar Islam, seperti yang ada di Turki, adalah setelah mereka memberikan jaminan ( garansi ) terhadap para penguasa untuk tetap menjaga sekularisme di negara itu. Jika hal itu tidak dilakukan, tentu saja mereka tidak diizinkan untuk mengikuti Pemilu. Bukti nyata atas hal ini adalah apa yang terjadi di Aljazair.
Ketiga, banyak parpol Islam yang terlibat dalam Pemilu membenarkan perbuatan mereka, dengan dalih, kita tidak ingin membiarkan lapangan ini untuk orang – orang yang tidak bertaqwa; dan kami memilih orang yang lebih baik ( shalih ) untuk aktivitas tersebut. Apa jadinya, menurut mereka, apabila pemerintahan dan kekuasaan dikuasai oleh orang – orang kafir, orang – orang zalim, munafik dan fasik ...? kami mengatakan kepada mereka, yang mengatakan itu, bahwa memilih yang lebih baik bisa dilakukan terhadap perbuatan yang direstui oleh Islam. Namun, jika perbuatan itu diharamkan, bahkan keharamannya amat besar di sisi Alloh SWT, yaitu bersandar pada selain syariat Alloh SWT, maka tidak dibolehkan memilih yang baik ( shalih ) atau pun yang tidak baik untuk itu. Orang – orang yang shalih lagi bertaqwa tidak akan mengajukan diri mereka menjadi wakil dari manusia dalam hal pembuatan hukum – hukum selain Alloh SWT.
Jika demikian kenyataannya, apa yang sebenarnya dicari oleh oleh kaum Muslim...? Lalu, bagi parpol Islam, apa yang sebenarnya yang anda cari...? Maka dari itu, kaum Muslim harus lebih berhati – hati jika ingin ikut dalam Pemilu. Jangan sampai kita termasuk ke dalam golongan yang Alloh SWT ceritakan didalam Al – Qur’an Surat Al – Ma’idah ayat : 51, 55, dan 57.
Bahkan Alloh SWT bertanya kepada kita semua didalam Al – Qur’an Surat Al – Ma’idah ayat : 50 . Silahkan jawab sendiri ...?
Tapi sebelumnya silahkan buka Al – Qur’annya.

Semoga bermanfaat, amien.


Sumber : Majalah Al – Wa’ie




Senin, 09 Februari 2009

Profil Michael Heart "Sang Musisi Penuh Cinta Untuk Gaza"



Michael Heart, pria kelahiran Syria yang menetap di Los Angeles, Amerika Serikat, menerima sambutan banyak orang sejak lagunya, We Will Not Go Down, dikenal luas. Musisi Amerika ini mengaku merasa senang dan bahagia dengan album yang ditujukannya untuk anak anak Palestina itu.

Pria yang dibesarkan di Eropa, khususnya di Swiss dan Austria itu, merasa marah dan terharu melihat korban di sekolah PBB yang memberikan inspirasi baginya untuk mengarang lagu yang ditujukan untuk korban Gaza.

Michael yang hidup dalam berbagai budaya ini menggratiskan lagunya untuk di-download. Hanya saja ia menyarankan untuk memberi sumbangan ke Unicef atau ke organisasi yang berdedikasi untuk mengurangi penderitaan rakyat Palestina.

Michael yang belajar piano dan gitar di usia 10 tahun, dan mulai menulis lagu dan sempat melakukan rekaman setelah menyelesaikan pendidikan dari Full Sail (sekolah rekaman), dan akhirnya hijrah ke Los Angeles di tahun 1990.

Selama 18 tahun, Michael bekerja di studio lokal. Selain bermain gitar, dia juga bekerja sebagai recording engineer untuk artis terkenal, seperti Brandy, Will Smith, Toto, Natalie Cole, The Temptations, Phil Collins, Patty LaBelle, dan The Pointer Sisters.

Michael yang juga dikenal dengan nama Annas Allaf membantu rekaman kelompok Earth Wind & Fire dan artis terkenal lainnya seperti Ricky Lee Jones, Lou Rawls, Jesse McCartney, Hillary Duff, Jessica Simpson, Jennifer Paige, Al Jarreau, KCi & Jojo, Deborah Cox, Monica, Taylor Dayne, Keiko Matsui, Steve Nieves, Luis Miguel dan Tarkan.

Kefasihan Michael berbahasa Perancis menjadi bonus saat ia bekerja dengan artis Perancis, seperti Calogero (The Charts), Marc Lavoine dan Veronique Sanson.

Selain bekerja di studi rekaman, Michael pernah melakukan tur di awal tahun 90-an sebagai pemain gitar flamenco bersama Juan Manuel Canizares pada pembukaan konser Dire Straits.

Awal Januari 2009, Michael menulis dan sekaligus menyanyikan lagu yang menceritakan situasi masyarakat Palestina in Gaza. Lagu yang diberi judul We Will Not Go Down itu akan terus bergema di hati masyarakat dunia.

Banyak cara untuk men-support perjuangan rakyat Palestina di Gaza, salah satunya dengan lagu. Seorang penyanyi di Los Angeles Amerika Serikat – Michael Heart, membuat sebuah lagu khusus yang dia tujukan untuk rakyat Gaza yang sampai saat ini masih jadi sasaran pembantaian oleh Zionis Israel.

michael_heart1xSejak dia merilis lagu yang berjudul “We will not go down” (Song for Gaza) , lagu tersebut mendapat banyak respon, berupa komentar dukungan, sampai ia sendiri kewalahan menjawab dan membalas berbagai email yang masuk.

Walaupun lagu itu baru di rilis, namun telah ratusan ribu orang melihatnya di youtube dan mendownload MP3 nya.

Lirik lagu “We will not go down” sendiri sangat menyentuh.

Salah satu bait lirik dari “We will not go down”

Women and children alike

Murdered and massacred night after night

While the so-called leaders of countries afar

Debated on who’s wrong or right

Michael Heart menggambarkan kondisi rakyat Gaza akan gempuran Zionis Israel dalam lagunya itu membuat kita merasa tersindir dan sedih akan nasib rakyat Gaza.

Awalnya dia berencana dengan menjual CD lagu MP3 nya itu dan hasil penjualannya akan dia donasikan untuk kepentingan amal kemanusiaan untuk penduduk Gaza, tapi karena dia merasa sulit kalau harus sendiri mendonasikan hasil penjualan CD MP3 nya , akhirnya dia memutuskan semua orang bisa mendownload gratis lagu tersebut. Dan dia berharap, setelah mendengarkan lagu itu, orang-orang akan tergerak hatinya untuk membantu rakyat Palestina di Gaza dengan mendonasikan uangnya ke lembaga-lembaga kemanusiaan yang ada atau organisasi yang didedikasikan untuk meringankan penderitaan rakyat Palestina.Sebagai musisi Michael Heart sangat berterima kasih atas dukungan yang diberikan kepada dia atas lagu tersebut. Dan dia berharap setiap orang yang masih mempunyai hati nurani, mendukung perjuangan rakyat Palestina dan membantu mereka walau hanya dengan berupa doa.


WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Link Download Lagu : http://www.michaelheart.com/Song_for_Gaza.html

Sumber : http://www.michaelheart.com
http://sman2prabumulih.wordpress.com
http://www.kapanlagi.com