IKLAN

Free Website Hosting

Sabtu, 16 Mei 2009

KAIDAH " DARIPADA "


Kalau ditanya, kaidah apa yang paling populer dalam perpolitikan kaum Muslim sekarang ...? Besar kemungkinan jawabannya adalah kaidah ‘ daripada ‘. Dari pada sistem otoriter lebih baik demokrasi, daripada capres A yang sekuler lebih baik capres B yang sekulernya sedikit, daripada semuanya non-Muslim lebih baik kita juga ikutan, daripada tidak ada dalam sistem itu dan tidak bisa berbuat apa-apa kan lebih baik ikut sistem, demikian seterusnya. Kaidah ‘daripada‘ ini sesungguhnya merupakan cerminan dari sikap pragmatisme politik kaum Muslim saat ini.
Memang, ‘pragmatisme‘ menjadi gejala umum di kalangan kaum Muslim, khususnya dalam berpolitik. Inti pragmatisme adalah tunduk pada realita (kenyataan), seakan-akan realita tersebut tidak bisa diubah. Doktrin-doktrin seperti, “kenyataan tidak bisa diubah”, atau “negara ini sudah final“ memang terus ditanamkan di benak kaum Muslim hingga kaum Muslim putus asa. Pernyataan bahwa, “Sistem Khilafah memang ideal, tetapi itu kan utopis,“yang sering kita dengar merupakan cerminan sikap putus asa.
Tentu tidak benar jika dikatakan bahwa sistem kehidupan ini tidak bisa diubah. Bukankah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebelumnya tidak ada, kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI diproklamasikan...? bukankah sebelum sistem sekuler diadopsi oleh negara-negara Barat, mereka menerapkan sistem kerajaan-teokrasi...?bukankah sebelumnya kaum Muslim bersatu di bawah naungan Daulah Khilafah, yang kemudian terpecah-belah menjadi negara-negara kecil dengan asas sekuler...? karena itu, sistem sekarang juga tentu bisa diubah. Semuanya bergantung pada kemauan masyarakatnya. Kemauan masyarakat itu bergantung pada kesadaran mereka. Artinya, perubahan sisten seperti apapun bisa terjadi, bergantung pada kemauan dan kesadaran masyarakat.
Apa yang kemudian menjadi ukuran baik dan buruk dalam pragmatisme ini...? tentu bukan lagi hukum syariat, tetapi kemanfaatan yang didominasi oleh hawa nafsu manusia. Kemaslahatan sendiri, dalam filsafat politik Barat, sering disebut dengan utilitarianisme. Salah satu pemikir utama utilitarian ini adalah Jhon Stuart Mill (1806-1873). Teori utilitarianisme (kemanfaatan) ini berpangkal pada pandangan bahwa sikap dan tindakan manusia menurut kodratnya ditentukan oleh sakit dan senang, benar atau salah. Hubungan sebab-akibat berpangkal pada ketentuan sakit dan senang itu. Kesenangan itu baik, bahkan kebaikan yang sesungguhnya, dan merupakan satu-satunya kebaikan. Sakit itu tidak baik dan merupakan satu-satunya kejahatan. (Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat, hlm. 169) sakit dan senag, menurut Jeremy Bentham, bapak aliran ini, merupakan ukuran manusia dalam sikap politik. Baik dan buruk kemudian sangat bergantung pada apakah perkara itu memuaskan kesenangan fisik (jasad) manusia atau tidak.
Memang, banyak para politisi Muslim merujuk pada kaidah syariat yang cukup populer, yakni, “Ahwan asy-Syarrayn” atau “Akhaffu ad-Dharrayn” intinya adalah memilih kemadaratan atau keburukan yang paling ringan. Namun kenyataannnya, kaidah ini digunakan secara sembarangan. Padahal, kaidah ini hanya bisa digunakan dalam kondisi yang tidak ada pilihan lain kecuali ketika dihadapkan dua perkara buruk.
Pertanyaannya, apakah kita sekarang sedasng dihadapkan pada dua pilihan buruk...? tentu tidak. Kita tidak ada dalam posisi harus memilih antara sistem demokrasi atau otoriter...? tidak juga dalam posisi memilih capres A yang sekuler denagn capres B yang sedikit sekulernya. Kita masih punya pilihan ketiga. Kita tidak memilih demokrasi tetapi juga bukan otoriter. Pilihan kita adalah Sistem Daulah Khilafah. Kita juga tidak dalam posisi harus memilih dua nama capres yang sama-sama buruk. Kita masih punya pilihan lain, mengangkat Khalifah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Di samping itu, yang menentukan standar kemadaratan atau keburukan adalah hukum syariat. Pada faktanya, sekarang ini standar kemadaratan atau keburukan lebih didasarkan pada kemauan hawa nafsu manusia. Padahal Allah SWT telah menjelaskan ketidakmampuan manusia dalam menentukan baik dan buruk, kalau hanya berdasarkan pada dirinya, apalagi kepuasaan dirinya. (Lihat QS al-Baqarah [2] : 216). Dalam konteks ini, Asy-Syatibi mengatakan bahwa meraih kemaslahatan dengan cara yang bertentangan dengan syariat adalah bid’ah. Argumentasi kaidah ‘daripada’ ini jelas sangat berbahaya kalau dijadikan oleh umat sebagai patokan dalam tindakannya sehari-hari. Bayangkan kalau seorang pelacur menggunakan kaidah ‘daripada’ untuk membenarkan tindakannya, “Daripada anak saya tidak makan, lebih baik saya melacur”, “Daripada saya golput, lebih baik saya ikut pemilu”. Daripada saya menolak cawapres lebih baik saya mendukungnnya. Jadi jelas kaidah “daripada” ini merupakan bom waktu yang berbahaya bagi masyarakat. Bahaya lain kaidah “daripada” ini adalah dominannya relativisme kebenaran. Karena tidak ada patokan, mana yang baik dan mana yang buruk, semua orang bisa bertindak seenaknya.
Islam jelas menolak relativisme kebenaran ini. Dalam Islam, sangat jelas yang disebut syarr (keburukan) adalah sesuatu yang dibenci Allah SWT, yakni yang bertentangan dengan syariat-Nya. Sebaliknya, khyar (kebaikkan) adalah yang diridhai oleh Allah SWT yakni yang sejalan dengan syariat-Nya. Kaidah “daripada” juga telah menjerumuskan politisi Islam pada sikap plin-plan tidak istiqamah. Saat punya kepentingan untuk parpolnya muncul fatwa, “Pemilu itu wajib, golput haram”. Sebaliknya kalau tidak ada lagi kepentingan, “Golput tidak apa-apa”, Kalau punya interest politik, “Presiden wanita haram” Kalau interest-nya berubah yang haram bisa jadi halal. Umat Islam zaman sekarang ini seperti Anjing, jika tidak kebagian tulang dia akan menggonggong dengan keras tetapi setelah dia kebagian tulang dia diam saja. Padahal hanya ada satu yang haram itu bisa menjadi halal...? yaitu daging mentah. Daging mentah itu asalnya haram tetapi setelah adanya ijab qabul maka daging mentah itu menjadi halal, bahkan nikmat sekali, katanya. Bahkan banyak orang baik tua maupun muda yang ketagihan sama daging mentah. Hahahahahaha. Sikap plin-plan seperti ini jelas bisa membuat umat kehilangan kepercayaan pada partai Islam, termasuk pada gagasan syariat Islam. Kalau ini terjadi, penegakkan syariat Islam yang merupakan cita-cita bersama umat Islam akan semakin sulit. Na’udzu billah !!!!!!!!!!!!!!!!